JAKARTA, NAWACITA – Rencana untuk melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mendapat respons masyarakat.
Penolakan muncul, terutama terhadap revisi aturan yang dianggap mengobral remisi untuk koruptor.
Petisi online berjudul “Tolak Kebijakan Obral Remisi untuk Koruptor” pun muncul di laman www.change.org. Hingga pukul 09.42, petisi itu telah mendapat dukungan 10.841 tanda tangan.
Petisi tersebut langsung ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Pembuat petisi, Dewi Anggraeni Puspitasari menilai revisi PP itu akan menguntungkan koruptor.
Hal itu terjadi dengan penghilangan status justice collaborator (JC) pada koruptor untuk mendapatkan remisi.
“Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-71, Gayus Tambunan mendapat hadiah berupa remisi atau pemotongan masa pidana sebanyak 6 bulan, sedangkan Nazaruddin dapat remisi sebanyak 5 bulan. Belum lagi dalam satu tahun para terpidana kasus korupsi (koruptor) bisa mendapat lebih dari satu kali remisi. Terbayang bukan, jika syarat pemberian remisi kepada koruptor lebih diperlonggar?” kata Dewi dalam petisinya.
Menurut Dewi terdapat beberapa alasan untuk menolak revisi PP. Pertama, adanya upaya pengaburan informasi dari pemerintah.
Sekitar akhir 2015, wacana revisi PP itu menyeruak. Akibat mendapat penolakan keras dari publik, rencana merevisi lalu tenggelam.
Namun, upaya merevisi PP 99 tidak berhenti. Sekitar Juli 2016, muncul draf revisi PP 99 dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Warga Binaan (RPP Warga Binaan).
Kedua, syarat remisi untuk napi kasus korupsi sangat longgar. Dewi menyebutkan, dalam pasal 32 ayat 1 dan 2 RPP Warga Binaan hanya mensyaratkan tiga hal untuk dapatkan remisi.
Syarat itu antara lain, telah menjalani sepertiga masa pidana, membayar lunas pidana dan tambahan uang pengganti, serta berkelakuan baik.
“Syarat keharusan memiliki status JC dihapus, pemberian remisi kepada napi korupsi menjadi lebih mudah diberikan,” tulis Dewi.
Ketiga, kapasitas berlebih lapas bukan disebabkan oleh napi kasus korupsi. Berdasarkan data remisi dari Ditjen Permasyarakatan Kemenkumham, jumlah keseluruhan napi dan tahanan di lapas dan rutan per Juli 2016 di seluruh Indonesia adalah 197.670 orang.
Sedangkan napi kasus korupsi hanya berjumlah 3.894 orang atau hanya 1,96 persen dari total penghuni penjara dan tahanan.
“Dengan alasan-alasan tersebut, jelas bahwa bahwa pelonggaran syarat remisi akan menguntungkan koruptor. Padahal koruptor telah lebih dahulu merugikan kita, warga negara Indonesia,” ujar Dewi. SUMBER : KOMPAS.COM