Ketua KPPU Tegaskan Penjualan LNG Tidak Boleh Dimonopoli
Jakarta, Nawacita – Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menegaskan bahwa penjualan ritel liquid natural gas (LNG) tidak boleh dimonopoli oleh pelaku usaha tertentu, baik swasta maupun BUMN. Pernyataan tersebut disampaikan Ifan, panggilan akrab Ketua KPPU, dalam kunjungan di PT Kawasan Industri Makassar (PT KIMA) pada 3 Agustus 2024.
Dalam kunjungan tersebut, ditemukan bahwa beberapa pelaku usaha ingin menggunakan LNG karena lebih efisien, namun terkendala oleh penghentian pasokan dan ketidakmampuan untuk mendapatkan pasokan alternatif dari pelaku usaha lain. Saat ini, penjualan LNG di wilayah tersebut hanya dapat diperoleh dari satu pelaku usaha, yakni PT Pertamina (Persero).
Sektor energi, khususnya minyak dan gas, menjadi salah satu fokus utama Anggota KPPU periode 2024-2029. Berdasarkan Indeks Persaingan Usaha (IPU), sektor ini konsisten berada di posisi rendah dalam lima tahun terakhir, yang menunjukkan iklim persaingan usaha yang sehat belum tercipta dengan baik. Oleh karena itu, KPPU konsisten melakukan pengawasan sektor energi di berbagai wilayah, termasuk Makassar.
“Tujuan kami ke sini, sesuai dengan tugas dan fungsi KPPU, adalah untuk memastikan adanya persaingan usaha yang sehat khususnya di sektor energi,” jelas Ifan.
Baca Juga : KPPU Gelar Sidang Lanjutan Terkait Dugaan Pelanggaran Pengadaan Konstruksi di Nusa Penida
Kunjungan ke PT KIMA dilakukan untuk memantau implementasi persaingan usaha yang sehat dalam penggunaan LNG di industri Makassar. PT KIMA, perusahaan milik pemerintah, memiliki peran strategis dalam perekonomian di Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur. Mayoritas industri di kawasan PT KIMA menggunakan liquefied petroleum gas (LPG) yang disokong oleh Pertamina, meskipun 70% pasokan LPG di Indonesia masih didominasi impor. Penggunaan LNG yang produksinya cukup di dalam negeri dianggap bisa menekan ketergantungan pada LPG impor.
Direktur Utama PT KIMA, Alif Abadi, menjelaskan bahwa pada tahun 2020 terdapat satu perusahaan pengelolaan limbah B3 di kawasan industrinya yang pernah menggunakan LNG, namun berhenti pada tahun 2023 karena kurangnya pasokan dan biaya distribusi yang mahal karena pasokan LNG berasal dari Bontang, Kalimantan Timur. Saat ini, PT KIMA sedang berkoordinasi dengan calon mitra untuk kerja sama penyediaan LNG di Kawasan Industri Makassar.
KPPU akan mengkaji apakah penghentian pasokan LNG tersebut dapat dikatakan sebagai indikasi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Saat ini, izin niaga gas, khususnya LNG, dimonopoli oleh PT Pertamina (Persero) melalui sub-holding-nya, PT Pertagas Niaga (PT GN). KPPU akan mengusulkan kepada Pemerintah untuk mengubah regulasi tersebut jika diperlukan, guna membuka kesempatan yang sama bagi pelaku usaha lain, baik BUMD maupun swasta.
“Kami akan mengkaji dari sisi aturan dan perilaku pelaku usaha yang memperoleh izin niaga LNG. Jika terhambatnya pasokan dan mahalnya harga LNG diakibatkan regulasi yang salah, akan diajukan perubahan ke Pemerintah. Tetapi jika ada indikasi abuse atau praktik monopoli yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memperoleh izin niaga LNG, KPPU akan melanjutkannya dengan upaya penegakan hukum,” ungkap Ifan.
Baca Juga : KPPU Mulai Sidang Pendahuluan Kasus Persekongkolan Rahasia Perusahaan PT Chiyoda Kogyo Indonesia
Selain di PT KIMA, KPPU juga mengunjungi PT Mars Symbioscience Indonesia (PT MARS) dan Wastec Internasional (PT WASTEC) untuk mendapatkan masukan terkait penggunaan energi minyak dan gas dalam mendukung produksi. PT MARS adalah perusahaan pengolahan kakao yang menggunakan LPG dalam jumlah besar, sedangkan PT WASTEC adalah perusahaan pengolahan limbah B3 yang sebelumnya menggunakan LNG sebagai bahan bakar penunjang produksi tetapi beralih ke LPG karena ketidakpastian pasokan dan harga yang mahal.
Dalam kunjungan di Makassar, Ketua KPPU didampingi oleh Pejabat Kantor Wilayah VI KPPU Makassar, dan diterima oleh Direktur Utama PT KIMA Alif Abadi, Direktur Operasional dan Pendukung Alif Usman Amin, dan Direktur Keuangan dan Pengembangan Bisnis Alexander Chandra Irawan.