Debat Presiden Jokowi vs Faisal Basri Terkait Hilirisasi Nikel Terus Berlanjut, Begini Kronologinya
JAKARTA, Nawacita – Debat Presiden Jokowi vs Faisal Basri Terkait Hilirisasi Nikel, Perdebatan antara Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai program hilirisasi terus berlanjut.
Hal ini berawal dari kritikan Faisal terhadap kebijakan hilirisasi nikel yang dinilainya hanya menguntungkan industrialisasi China. Apalagi kalau hilirisasi yang dilakukan baru sebatas produk Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel.
“Kalau hilirisasi sekedar dari bijih nikel jadi NPI atau jadi feronikel. NPI dan feronikel 99% diekspor ke China jadi hilirisasi Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China itu dia, luar biasa,” ujar Faisal dalam diskusi Indef, dikutip Sabtu (12/8/2023).
Tak terima, Jokowi menyebut bahwa hilirisasi nikel justru telah membawa keuntungan bagi Indonesia. Mantan wali kota Solo ini lalu mempertanyakan hitung-hitungan dari Faisal Basri.
“Ngitungnya gimana? Kalau hitungan saya berikan contoh nikel, saat diekspor mentahan, bahan mentah setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun, setelah masuk ke industri downstreaming, ke hilirisasi menjadi Rp 510 triliun,” kata Jokowi di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta.
Menurut Presiden dengan meningkatnya nilai ekspor nikel hasil hilirisasi, maka penerimaan negara dari pajak akan lebih besar.
“Bayangkan saja kita negara itu hanya mengambil pajak, mengambil pajak dari Rp 17 triliun sama mengambil pajak dari Rp 510 triliun lebih gede mana? Karena dari situ, dari hilirisasi kita bisa mendapatkan PPN, PPH badan, PPH karyawan, PPH perusahaan, royalti bea ekspor, penerimaan negara bukan pajak semuanya ada di situ. coba dihitung saja dari Rp 17 triliun sama Rp 510 triliun gede mana?” kata Jokowi.
Tak berhenti di situ, Faisal Basri lagi-lagi merespon jawaban Presiden atas ucapannya itu. Menurut Faisal, angka yang disampaikan oleh Jokowi tidak jelas juntrungannya. Dia memaparkan data pada tahun 2014 yang mana nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 hanya sebesar Rp 1 triliun.
“Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per US$,” jelas Faisal dalam keterangannya, Jumat (11/8/2023).
Dia juga mengungkapkan bahwa data 2022 lalu, nilai ekspor besi dan baja yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi dalam negeri sebesar US$ 27,8 miliar yang mana bila dikonversikan dengan rerata kurs Rupiah saat itu, nilai ekspor besi dan baja dengan kode HS 72 setara dengan Rp 413,9 triliun.
“Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun,” beber Faisal.
Jika dibandingkan dengan data yang disebutkan oleh Presiden Jokowi, memang terdapat perbedaan data antara kedua pihak. Namun, Terlepas dari perbedaan data yang ada, Faisal justru mempertanyakan kemana uang hasil ekspor yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia.
Di mengatakan hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100% dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
“Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” ungkap Faisal.
Jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, lanjut Faisal, perusahaan smelter nikel seharusnya bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Jadi, kata nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel.
Perusahaan-perusahaan smelter China Menurut Faisal menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional. “Kementerian Keuanganlah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM,” terang Faisal.
Hilirisasi untuk China?
Faisal Basri sejatinya mendukung sepenuhnya industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang.
Hilirisasi nikel dinilai ugal-ugalan dan sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. “Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia,” ungkap Faisal Basri
Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1% tahun 2014 menjadi hanya 18,3% tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir.
Baca Juga: Pabrik Nikel Raksasa Baru Segera Dibangun di Indonesia, Disini Lokasinya
Keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit.

Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis . Yang dikatakan oleh Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.
Hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel matte.
Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China. Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia.
Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products. Sejauh ini tak satupun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.
Tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10%.
Begini Hitung-hitungannya
Nilai tambah smelter = produk smelter – bijih nikel. Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa.
Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.
Hampir 100% modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir.
Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar US$ 100 per pekerja per bulan.
Banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp 54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan.
Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan namun nilainya amatlah kecil. Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China.
Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.
Baca Juga: Indonesia Punya Pabrik Nikel Sulfat Terbesar di Dunia, Siapa Pemiliknya?
Berdasarkan harga rerata bulan April 2021, penerimaan yang dinikmati oleh perusahaan tambang bijih nikel jauh lebih rendah dari harga patokan yang ditetapkan pemerintah atau HMP (harga patokan mineral) yang sudah relatif sangat rendah itu.
“Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan,” tutup Faisal Basri.
Jawaban Presiden Jokowi
“Ngitunganya gimana? Kalau hitungan saya berikan contoh nikel, saat diekspor mentahan, bahan mentah setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun, setelah masuk ke industrial downstreaming, ke hilirisasi menjadi Rp 510 triliun,” terang Jokowi menjawab pernyataan Faisal Basri terkait hilirisasi nikel, di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta, dikutip Jumat (11/8/2023).
Dengan meningkatnya nilai ekspor nikel hasil hilirisasi, lanjut Jokowi, maka hasil pajaknya akan lebih besar ketimbang sebelum nikel dilakukan hilirisasi.
“Bayangkan saja kita negara itu hanya mengambil pajak, mengambil pajak dari Rp 17 triliun sama mengambil pajak dari Rp 510 triliun lebih gede mana?,” katanya.
“Karena dari situ, dari hilirisasi kita bisa mendapatkan PPN, PPH badan, PPH karyawan, PPH perusahaan, royalti bea ekspor, penerimaan negara bukan pajak semuanya ada di situ. coba dihitung saja dari Rp 17 triliun sama Rp 510 triliun gede mana?” pungkas Jokowi.
cnbnws.