Wagub Emil Dardak Sampaikan Perlunya Membangun Kota Pedesaan untuk Menciptakan Off-Farm Jobs
Nairobi, Nawacita – Wakil Gubernur Jatim hadir sebagai salah satu panelis dalam perhelatan United Nations UN Habitat Assembly di Nairobi Kenya, pada Rabu (7/6/2023). Emil Dardak menyampaikan beberapa Key Enabler berdasarkan pengalaman dan pemikiran masa depan dunia. Setelah menyampaikan Key Enabler pertama di tulisan sebelumnya, Emil Dardak meneruskan key enabler berikutnya.
Key enabler kedua masih berhubungan dengan wilayah pedesaan di kabupaten sekitar perkotaan. Pembangunan berkelanjutan tak bisa lepas dari pembahasan seputar lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat daerah.
Di sini, Wagub Jatim itu mengungapkan bahwa hampir 1/3 masyarakat Jawa Timur bekerja di bidang pertanian. Meski demikian, sumbangsih pertanian pada perekonomian hanya 10%.
Baca Juga : Emil Dardak Menjadi Pembicara UN Habitat Assembly di Nairobi Kenya (1)
Karenanya, pekerjaan di luar bidang pertanian sangatlah diperlukan. Dari sinim muncul gagasan serta upaya untuk memfungsikan kota kecil dan menengah guna membuka lapangan kerja lebih banyak.
Perihal lapangan kerja di kota pedesaan ini juga berkaitan dengan infrastruktur. Kemampuan kota kecil tidak seperti kota besar, tidakseperti Kuala Lumpur, Jakarta, atau Surabaya. Infrastuktur mendasar masih diperlukan agar lapangan pekerjaan diluar sektor pertanian dapat dibuka dan mengatasi batasan-batasan ini. Hal ini sesuai dengan tujuan NUA yang juga menyebutkan tentang pertanian.

Peran Pakar dan Lembaga Global dalam Menjawab Tantangan Disrupsi Terhadap Pola Mobilitas Ekonomi
Lapangan kerja kembali di bahas dalam key enabler ketiga ini. Kebutuhan atas lapangan kerja pun tampak di perkotaan mengikuti pandemi Covid-19.
Hal ini merupakan imbas dari berubahnya penggunaan teknologi yang turut menentukan pola mobilitas ekonomi; sebagaimana dapat dilihat dari maraknya e-commerce dan remote working.
Bahkan, tingkat penurunan kemiskinan di pedesaan justru jauh lebih pesat dibandingkan perkotaan.
“Kemiskinan perkotaan dan tingkat pengangguran adalah dua hal yang penting. Kami melihat banyak disrupsi—pusat perbelanjaan di kota besar mulai sepi, kantor-kantor kekurangan pegawai, tekonologi dan banyak hal lainnya terus berubah,” ujar Emil.
Perubahan penggunaan tekonologi ini perlahan mempengaruhi pola mobilitas. Konsep kota monosentris di mana hanya ada satu pusat hiruk pikuk pun berubah.
Emil berpendapat, bahwa ketika pembangunan terjadi merata, maka tidak akan ada wilayah yang teringgal. Baik itu daerah, atau bahkan pusat kota seperti beberapa fenomena yang tampak.
“Perubahan ini penting untuk dikaji oleh organisasi seperti UN Habitat. Saya juga mewakili organisasi Eastern Regional Organization for Planning and Human Settlements atau EAROPH, dan penting bagi kita semua untuk melakukan upaya bersama secara global agar pembangunan di kota dan daerah dapat berseiring,” tegansya.
Emil berharap agar gagasan seputar Transit Oriented Development dan kota-kota polisentris dalam New Urban Agenda ini dapat diterapkan oleh pemerintah daerah. Terutama dengan dukungan para pakar di bidang keahlian tersebut untuk menyusun strategi baru guna mengatasi tantangan ini.
“Kita tidak bisa berharap pemerintah daerah untuk menyusun strategi dalam menghadapi disrupsi masif ini sendirian,” tuturnya.
Perumahan Jangan Semakin ke Pinggir, Harus Ada Upaya Amankan Lahan di Tengah Kota
Mengingat bahwa UN Habitat mengkaji topik permukiman, maka key enabler kali ini adalah upaya pengamanan lahan hunian di lokasi strategis tengah kota.
Pemerintah daerah untuk saat ini memberikan subsidi dan izin bagi para pengembang. Namun hunian yang terjangkau menjadi makin jauh dari pusat kota.
Hal ini menjadi masalah karena kelompok masyarakat usia produktif dan masyarakat berpenghasilan rendah makin tergeser ke pinggiran kota.
Biaya untuk mencapai pusat kota menjadi kendala terhadap produktivitas. Mantan Bupati Trenggalek itu optimis bahwa adanya Transit Oriented Development (TOD) atau pembangunan berorientasi transit dapat menjadi gebrakan untuk menghadapi tantangan ini.
“Biaya untuk menuju pusat kota menjadi makin mahal, dan menyita banyak waktu serta produktivitas. Maka dari itu, harus ada gebrakan yang dilakukan. Salah satu yang disebutkan dalam New Urban Agenda adalah Transit Oriented Development,” katanya.
“Kami pernah berkolaborasi dengan KfW untuk melakukan studi di Surabaya terkait mobilitas, Di sini, hanya 2,4% dari perjalanan sehari-hari ditempuh dengan transportasi public. Lantas bagaimana kita bisa mewujudkan Transit Oriented Development? Penting adanya untuk mengatasi hal ini,” Emil menambahkan. (bersambung)