Tren Nikah Gratis di KUA Masih Rendah

Pernikahan di KUA masih rendah. Foto : dok. Kasih Bimas Islam Kemenag Kabupaten Mojokerto
Pernikahan di KUA masih rendah. Foto : dok. Kasih Bimas Islam Kemenag Kabupaten Mojokerto

Tren Nikah Gratis di KUA Masih Rendah

Mojokerto, Nawacita – Pasca lebaran menjadikan momen yang sangat indah bagi umat muslim yang ingin mengucap janji suci pernikahan baik di Kantor Urusan Agama atau dengan penghulu dirumah, mengingat momen setelah lebaran adalah bulan Syawal.

Bulan Syawal 2023 memang menjadikan suatu momen yang berharga, namun sejatinya mengucap janji suci pernikahan di kantor urusan agama (KUA) belum menjadi tren di Mojokerto. Pasangan pengantin (catin) masih cenderung memilih mengucap ijab-kabulnya di rumah.

Kantor kementerian agama (kemenag) Kabupaten Mojokerto mencatat selama satu tahun terakhir peristiwa pernikahan yang terjadi ada 5656 pasangan, namun hanya 1519 yang menikah di KUA dan di luar KUA total 4137.

Kasih Bimas Islam Kantor Kemenag Kabupaten Mojokerto, Mukti Ali. Foto : Fio Atmaja
Kasih Bimas Islam Kantor Kemenag Kabupaten Mojokerto, Mukti Ali. Foto : Fio Atmaja

“Meski bulan Syawal masih jadi favorit, namun jumlah pernikahan yang melangsungkan menikah di KUA masih sangat rendah,” ucap Kasih Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Mojokerto, Mukti Ali, Jum’at (28/4/2023).

Mukti Ali menyampaikan bahwa, budaya menikah di rumah atau bedol masih sangat dominan di daerah. Pernikahan di KUA selama setahun terakhir memang masih rendah di bandingkan di luar KUA, dalam artian tradisi menggelar resepsi pernikahan di luar KUA masih kental.

“Untuk calon pengantin (Catin) kalau menikah dengan menghadirkan penghulu ke rumah harus membayar Rp 600 ribu, padahal kalau menikah di KUA tidak dipungut biaya sama sekali,” terangnya.

Baca Juga: Pemohon Adminduk Pascalebaran di Mojokerto Masih Normal, Ini Jumlahnya

Menurutnya, catin yang menikah di KUA bukan karena adanya perubahan paradigma melainkan ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Misalnya, keterbatasan ekonomi ini juga menjadi faktor yang paling umum biasanya dan budaya. Faktor ini memang sejak dulu, yang artinya masyarakat itu harus dilayani dan masih ada anggapan nikah di kantor itu seperti ada masalah.

“Pandangan umum masih melihat orang yang nikah di KUA kayak ada masalah itu kan hanya masalah budaya, jadi kalau ada pengantin di bawah ke KUA atau kantor seperti ada masalah,” ungkapnya.

Pelayanan terhadap masyarakat memang harus dilayani lebih cepat dan kondisi psikologis masyarakat juga harus terjaga, sehingga tidak ada pandangan dengan pernikahan menjadi masalah.

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here