JAKARTA, Nawacita – Pesawat kerap menghindari wilayah Tibet dalam rute penerbangannya. Ada sejumlah alasan teknis dan non-teknis di balik fenomena tersebut.
Wilayah yang dimaksud adalah dataran tinggi Tibet alias Daerah Otonomi Tibet di China, sebuah daerah pegunungan yang memiliki ketinggian rata-rata lebih dari 4.500 meter.
Dengan populasinya yang jarang (0,2 persen dari populasi China), hanya ada sedikit penerbangan dari dan ke wilayah berjuluk ‘Atap Dunia’ ini. Memang ada bandara internasional di Lhasa dan Xining, Tibet, dengan banyak penerbangan regional China.
Dikutip dari interestingengineering.com, satu-satunya maskapai penerbangan yang mengembangkan rute pelarian yang bisa digunakan di atas Tibet adalah Cathay Pacific.
Maskapai penerbangan lainnya dengan rute berbeda akan menghindari wilayah tersebut, meskipun sering kali melintasi wilayah Tibet merupakan rute paling lurus. Hal ini dikonfirmasi oleh informasi RadarBox.com, yang menampilkan seluruh wilayah Tibet kosong dari penerbangan. Lalu apa sebabnya?
-Pertama, faktor ketinggian Tibet yang bisa menyulitkan pendaratan darurat. Mengutip dari Simpeflying, ketinggian medan di Tibet yang mencapai rata-rata 4.267,2 meter (14.000 kaki) di atas permukaan laut menjadi penyebabnya.
Baca Juga: 10 Bandara di Dunia Paling Berbahaya
Sementara, prosedur pendaratan darurat karena situasi darurat, misalnya, penurunan tekanan dalam kabin, pesawat diminta menurunkan ketinggian ke 3.048 meter (10.000 kaki). Dengan ketinggian rata-rata Tibet itu, tentu sulit bagi pesawat untuk mencapai titik aman tersebut. Meskipun, ada cukup oksigen tersedia untuk para penumpang.
“Ada aturan penerbangan yang memaksa operator untuk dapat turun ke 10.000 [kaki] sebelum kehabisan oksigen darurat. Jelas, bagian Asia ini adalah wilayah yang sangat besar, dan akan ada area besar yang tidak mungkin untuk melarikan diri begitu cepat,” tulis Tim Hibbetts, seorang pekerja maskapai.
-Kedua, alasan turbulensi. Fenomena ini disebabkan oleh riak arus udara yang bergerak naik turun pada kecepatan yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk efek panas matahari, kondisi cuaca, dan pegunungan. Di daerah pegunungan, udara akan naik dan menciptakan arus yang mengganggu penerbangan.
Sebetulnya, turbulensi dialami oleh hampir semua penerbangan. Namun, wilayah Tibet yang mayoritas juga merupakan pegunungan membuat turbulensi menjadi lebih berbahaya.
-Ketiga, rendahnya suhu di Tibet yang berisiko membuat bahan bakar pesawat membeku. Sebetulnya, bahan bakar pesawat standar, seperti jet A1, baru akan membeku di minus 47 derajat celsius.
Suhu serendah itu pada dasarnya jarang bisa dicapai, terutama untuk jangka waktu yang lama. Namun, ketinggian di atas pegunungan yang sudah cuacanya sudah dingin meningkatkan risiko tersebut. Ini bukan masalah yang signifikan untuk penerbangan jarak dekat. Namun, itu bisa jadi isu signifikan bagi penerbangan jarak jauh.
-Keempat, ketiadaan penerbangan langsung antara India dan China, dua negara yang dihubungkan oleh wilayah udara Tibet.
“India dan Tiongkok tidak punya penerbangan reguler antar-kedua negara. Jika mereka punya, mungkin beberapa pesawat akan terbang di atas Tibet,” ujar Balaji Viswathan, peneliti penerbangan.
“Meskipun mereka bertetangga, India dan Tiongkok hidup dengan kultur dan negara yang berbeda. Tidak pernah ada kekaisaran yang melintasi keduanya dalam sejarah,” imbuh dia.
cnnws.