Surabaya, Nawacita– Permasalahan terkait 11 pasar tradisional yang belum memiliki Peraturan Daerah, masih dipermasalahkan oleh Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya. Sebab dari hasil sidaknya di Pasar Penjaringan ada beberapa permasalahan terkait tidak adanya biaya sewa maupun retribusi untuk pedagang.
Aning Rahmawati Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya mengungkapkan bahwa saat sidak di Pasar Penjaringan, semua stan tidak ditarik retribusi maupun sewa. Padahal pasar tersebut sudah beroperasi lebih dari setahun.
“Ada 10 stan yang beroperasi. Saat pedagang saya tanya ditarik retribusi atau tidak, jawabannya tidak,” ungkapnya kepada Nawacita pada Kamis (5/2).
Politisi PKS itu juga mengatakan walaupun sudah tidak ditarik biaya, namun masih saja banyak stan di pasar yang kosong. Selain banyaknya stan yang kosong, sepinya pembeli di pasar tersebut juga menjadi kendala. Ia menganalisis adanya kesalahan komunikasi pihak Pemerintah Kota dan warga setempat pada saat pembangunan pasar.
“Setelah saya telusuri memang tidak ada yang mau (berjualan di pasar). Adapun yang mau karena terpaksa dan (sekarang) rugi. Padahal pembuatan pasar tradisional itu harus mempertimbangkan pertama, Usulan warga. Kedua Partisipasi warga. Ketiga koordinasi, camat, warga, pengusul, Bapeko. Lalu baru melakukan kajian Solsek. Berarti kajian Solseknya kan tidak benar. Kalau warga tidak mau (menempati pasar),” terangnya.
Selain itu, Aning memaparkan bahwa tidak adanya hubungan hukum dengan Pemkot, menjadi temuan BPK. Seharusnya pasar tersebut bisa ditarik biaya sewa atau retribusi sebagai hubungan hukumnya.
“Selama 3 tahun ini gratis, ini sebetulnya jadi temuan BPK. Yang jadi temuan BPK itu tidak ada hubungan hukum. Padahal itu (Pasar Penjaringan) merupakan barang milik daerah. Kalau barang milik daerah hubungan hukumnya kalau tidak sewa ya retribusi,” paparnya.
Walaupun demikian, Aning mengaku memang belum ada hubungan hukum antara sebelas pasar tradsional dengan Pemkot. Sehingga 11 pasar tersebut memang tidak bisa ditarik retribusi. Ia menambahkan, bahwa 11 pasar tradisional itu dikelola oleh Dinkop. Sedangkan PDPS (Perusahaan Daerah Pasar Surya) mengelola 81 pasar lainnya.
“Aturannya antara masuk PDPS dan Dinkop itu berbeda. Saya belum melihat Perda yang mengatur pasar yang dibawah Dinkop. Di PDPS ada 81 pasar di Diinkop 11 pasar,” ujarnya.
Sementara itu Dwi Djaja Sekretaris Dinkop Surabaya mengatakan bahwa BPK bukan mempermasalahkan tidak adanya penarikan sewa atau retribusi di 11 pasar tradisional. Namun BPK menpatkan temuan lahan Pemkot yang digunakan oleh LPMK untuk membuka lapak.
“LPMK bangun pasar, kemudian dikelola di lahan aset milik Pemkot. Nah temuan BPK itu terkait dengan aset Pemkot dipakai oleh orang atau pihak lain tanpa ada hubungan hukumnya. Itu yang jadi temuan BPK. Nah rekom BPK harus dibuat hubungan hukum,” ujarnya.
Djaja melanjutkan, terkait 11 pasar tradisional yang dikelola memang tidak ada retribusi. Sebab hal tersebut memang tidak memiliki Perda yang mengaturnya. Sebab tujuan awalnya pendirian pasar ini untuk pemberdayaan pelaku usaha mikro. Ia mengatakan dulunya ingin dikelola oleh PDPS. Kalau di kelola PDPS, Djaja mengatakan akan terkena retribusi. Sebab PDPS memiliki Perda untuk menarik retribusi.
“Memang ada 11 pasar tapi baru 9 yang beroperasi. Kalau kita narik (retribusi pasar tradisional) malah salah. Kan tidak ada Peraturan Daerahnya,” pungkasnya.
(and)