Tuesday, December 23, 2025
HomeHukumMengurai Kejanggalan Dzikir Kejaksaan Raih Rekor MURI

Mengurai Kejanggalan Dzikir Kejaksaan Raih Rekor MURI

SURABAYA, nawacita – Kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri seluruh Indonesia menggelar dzikir dan istiqosah akbar serentak dalam rangka HUT Adhyaksa ke-58, Jumat (20/7/2018). Acara diikuti oleh seluruh aparatur sipil negara (ASN) kejaksaan RI di seluruh Indonesia. Tidak ketinggalan para ulama, habaib dari berbagai daerah, pimpinan Ormas, dan Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) turut menghadiri acara tersebut.

Terselenggaranya dzikir akbar bertema “Doa dan Asa Kejaksaan untuk Indonesia, Membangun Sinergi Menjaga Negeri” itu lantas mendapat ganjaran piagam dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Jaksa Agung RI H.M. Prasetyo menerima langsung piagam dari MURI.

Ada beberapa hal yang bisa dicermati dari acara tersebut. Pertama, pernyataan Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel) Jan S Maringka di Medsos. Dia menyebut begini: mari kita putihkan kejaksaan, melalui acara doa dan asa kejaksaan untuk Indonesia – dzikir bersama para kyai besar dan habib di lapangan Kejaksaan RI mulai jam 07.00 WIB. Bersama-sama kita pecahkan rekor MURI untuk pelaksanaan dzikir bersama ASN yang terbesar dan tersebar di seluruh Indonesia, saksikan melalui vicon di halaman kejati masing-masing atau aula kejari masing-masing melalui Metro TV dan TV One. Satu hati menjaga negeri #HBA-58tahun2018

- Advertisement -

Pernyataan tersebut dinilai tidak tepat karena disampaikan Jan Marinka yang notabene non-muslim, kendati dia berbicara atas nama institusi. Begitu juga dengan istilah “kita putihkan kejaksaan” memunculkan interpretasi beragam. Dzikir seolah-olah diukur dari baju atau seragam yang putih. Padahal pemaknaan dzikir berarti menyebut dan mengingat. Dzikrullah menyebut dan mengingat Allah SWT.

Dzikir dengan hanya menyebut dengan lisan tanpa menghadirkan hati tetap bisa mendatangkan pahala, namun tentu dzikir macam ini berada pada tingkat yang paling rendah. Dzikir dengan lisan tanpa menghadirkan hati dan pikiran bisa saja memberi pengaruh terhadap hati dan keimanan seseorang, tetapi pengaruhnya tidak sebesar dzikir sambil menghadirkan hati. Paling baik adalah dzikir dengan lisan sambil menghadirkan hati.

Dengan dzikir “kita putihkan kejaksaan” (bila dimaknai arti dzikir yang sebenarnya) bisa diartikan bahwa kinerja kejaksaan selama di bawah kepemimpinan Prasetyo sangat jeblok. Pada awal tahun 2016, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) merilis kinerja Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan Prasetyo yang mendapat rapor merah. Hal ini berbanding terbalik dengan kinerja Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Disebutkan saat itu 10 kementerian/lembaga dengan rapor merah: Dewan Ketahanan Nasional (56,97/CC), Komisi Pemilihan Umum (56,17/CC), Lembaga Ketahanan Nasional (55,04/CC), Ombudsman Republik Indonesia (54.51/CC), Lembaga Sandi Negara (54,24/CC), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi (53,97/CC), Kementerian Pemuda Dan Olah Raga (53,54/CC), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (51,60/CC), Perpustakaan Nasional (50,38/CC), dan paling buncit ditempati Kejaksaan Agung (50,02/CC).

Selanjutnya yang tidak habis pikir, acara dzikir akbar dilaksanakan untuk memecahkan rekor MURI. Pemaknaan awal dzikir saja sudah keliru, ini malah ditambah memecahkan rekor MURI. Kesan yang ditangkap seolah-olah acara ritual umat Islam tersebut hanya dijadikan ‘bahan mainan’ para penegak hukum.

Kedua, dzikir akbar yang digelar Kejaksaan Agung RI sarat kepentingan politis. Bagaimana tidak, selama ini rezim Joko Widodo (Jokowi) dikenal Islamofobia. Hal ini menyusul gerakan 212 (2 Desember 2016) yang kemudian berkembang menjadi kekuatan baru Islam. Islamofobia kemudian disematkan pada rezim Jokowi.

Paling menyolok terbitnya Perppu Ormas dinilai sebagai bukti nyata eks Walikota Solo itu tidak melindungi umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Diterbitkannya Perppu Ormas dan dibubarkannya HTI tanpa pengadilan adalah dua kebijakan paling mencolok Jokowi. Dan itu dipandang sebagai langkah yang tidak komprehensif karena nyatanya umat Islam di Indonesia banyak tergabung di dalam berbagai macam ormas.

Kasus kriminalisasi terhadap para ulama lewat dugaan ujaran kebencian di rezim Jokowi juga sangat menyolok. Seperti yang dialami ustaz Zulkifli Muhammad Ali dalam sebuah ceramahnya yang melontarkan informasi keliru soal proyek e-KTP yang disebutnya digarap di Prancis dan China, serta akan digunakan oleh “orang-orang sipit”. Isu pendataan ulama pesantren oleh polisi di Jawa Timur beberapa waktu lalu juga sempat membuat resah para kiai. Keresahan mereka beralasan karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Yang dilakukan polisi mengingatkan situasi seperti pada zaman Partai Komunis Indonesia (PKI) puluhan tahun silam. Cara polisi meminta data juga dinilai tidak etis dan semakin menunjukkan rezim Jokowi anti-Islam.

Selain itu, kasus Habib Rizieq Shihab (HRS), pimpinan Front Pembela Islam (FPI) juga paling disorot. Ditetapkan HRS sebagai tersangka dalam kasus penyebaran konten pornografi, kendati belakangan terbit Pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), memunculkan spekulasi peran ulama pasca aksi 411 dan 212, telah membuat “panik” rezim Jokowi. Mereka merasa terusik ketika tokoh-tokoh umat Islam bersatu dalam menguatkan keberislaman di negeri ini. Sehingga muncul kriminalisasi para ulama.

Disini, pemerintahan Jokowi tidak bisa serta merta mengubur kesan anti Islam. Sebab sikap anti umat Islam telah dipertontonkan rezim ini sejak awal. Seperti memunculkan isu toleransi dan kebhinnekaan jelang tahun politik tahun 2019. Sementara yang orang-orang selain itu atau bukan pendukung Jokowi disebut dituding intoleran, anti-kebhinnekaan, dan radikal.

Bahkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah meminta pemerintah agar tidak mudah melakukan pemidanaan terhadap para pendakwah dan kiai lewat dugaan ujaran kebencian. Pandangannya tersebut terkait dengan pengakuan beberapa ulama dan kiai yang merasa mudah dikriminalkan melalui delik ujaran kebencian. Menurut SBY, pemimpin negara dan ulama harusnya satu, bukan malah menjadi musuh. Indonesia harus mencontohkan sikap yang mencerminkan Islam yang sebenarnya kepada negara lain. Hal ini berguna untuk menangkal gejala ketakutan terhadap Islam atau Islamophobia di dunia. “Kita harus memberi contoh bagaimana Islam yang benar sesuai dengan firman Allah. Kalau dijalankan, gelombang Islamophobia bisa diredam,” kata SBY.

Ya, Islamofobia era Jokowi terasa sangat kental dan lebih berbasis kepanikan terkait Pilpres 2019. Belum lagi kampanye #2019GantiPresiden yang dihembuskan alumni 212 menjadi sangat fenomenal dan menjadi perbincangan 200 juta orang, terlepas ada yang suka atau tidak suka, tetapi sudah menjadi fakta dan realita politik.

Wajar Jokowi was-was dan terancam di Pilpres 2019 dengan kekuatan Islam. Sehingga untuk meredam itu, rezim Jokowi mulai membranding lagi pencitraannya. Kali ini dia ingin menunjukkan pro-Islam. Caranya dengan melibatkan institusi menggelar acara-acara bernafaskan Islami.

Terkait dzikir akbar di lingkungan kejaksaan, Guru Besar bidang Ilmu Fiqih (Hukum Islam) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA, menilai hal itu sebagai kegiatan bermuatan politis. Bukan soal siapa penyelenggaranya (Korps Adhyaksa), bukan pula soal kontennya yang tidak baik, tapi lebih pada muatannya.

“Sulit untuk tidak dikatakan (dzikir akbar kejaksaan) ada motif (politik),” kata Ahmad Zahro yang juga salah satu Imam Besar Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya ini.

Zahro juga menyebut, dalam kegiatan keagamaan tidak ada yang namanya ‘embel-embel’ tertentu, seperti untuk mendapatkan rekor MURI. “Aneh saja, dzikir kok di-MURI-kan, apalagi pemilik MURI non-muslim. Lebih aneh lagi banyak kyai yang mau hadir,” tegas Zahro.

Memang sulit untuk dipungkiri, Kejaksaan Agung disebut kepentingan politis karena pimpinannya (HM Prasetyo) adalah mantan jaksa yang kemudian menjadi politisi Partai Nasdem. Sehingga upaya penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung selalu dinilai hanya menjadi alat politik semata. Lebih parah lagi, dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan bisnis antar genk. Dengan rapor merahnya Kejaksaan Agung, masyarakat juga mempertanyakan kinerja Jaksa Agung HM. Prasetyo yang sangat partisan dan tak punya visi reformasi hukum.

Islam menjadi instrumen politik

Langkah politik Jokowi mendekati umat Islam seperti menemui ulama, habib dan tokoh masyarakat merupakan sebuah upaya tidak efektif. Sebab persepsi dan sikap negatif umat Islam tentang Jokowi terus meningkat dan meluas.

Publik sudah mahfum, upaya Jokowi mendekati umat Islam dilakukan semata-mata untuk mendulang suara guna mempersiapkan diri menyambut perhelatan akbar Pemilu (Pilpres) 2019 mendatang. Seperti ketika Jokowi mengunjungi puluhan pesantren mulai dari pulau Jawa, Sulawesi, Sumatera hingga Kalimantan. Bahkan, kunjungan Jokowi ke pesantren disebut paling banyak di antara presiden RI sebelumnya.

Jokowi juga mengundang ratusan ulama lintas Ormas Islam ke Istana. Mulai dari ulama Banten, Jawa Barat, hingga ulama yang tergabung dalam MUI dan Ulama NU. Dari sekian agenda pertemuan itu, maka sangat wajar jika Jokowi dikesankan Presiden yang paling dekat dengan Ulama. Berikutnya, Presiden RI ke-7 ini bisa dibilang salah satu pemimpin negara yang paling keras menolak pengakuan sepihak Amerika Serikat terhadap Yerusalem. Bahkan dalam beberapa pertemuan tingkat internasional, Jokowi menegaskan sikap Indonesia yang membela kemerdekaan Palestina dan tidak mengakui klaim sepihak Israel terhadap tanah Yerusalem. Sikap yang lebih keras lagi pernah ditunjukkan Jokowi terkait hal itu. Dia menyerukan Organisasi Kumpulan Negara Islam OKI untuk memboikot Israel.

Viralnya video Jokowi menjadi Imam Salat berjamaah bareng presiden Afghanistan Ashraf Gani seakan ingin memberi nilai positif kepada publik terhadap Jokowi di tengah isu PKI dan Anti Islam yang menerpanya. Saat itu Jokowi menjadi viral saat mengimami salat dalam kunjungan kenegaraan di Afganistan.

Meski elektabilitas Jokowi masih unggul dari kandidat lain versi lembaga survei. Namun, tidak bisa dibantah bahwa Jokowi masih khawatir dengan suara umat Islam. Sehingga Jokowi terus berusaha mendekati parpol Islam dan parpol berbasis massa Islam untuk meraup suara lebih banyak lagi. termasuk memberi janji-janji cawapres bagi ketua parpol Islam, seperti Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Romahurmuziy (Rommy).

Jokowi pasti sudah membaca, saat ini tantangan terbesar Jokowi pada Pilpres 2019 berasal dari kelompok Islam politik. Bahkan kelompok Islam politik ini angkanya sudah mencapai sekitar 40 persen. Disebut kelompok Islam politik karena mereka memberikan suara terhadap tokoh Islam dan juga parpol Islam atau berbasis Islam. Mereka tidak memilih tokoh nasionalis militer dan sipil sepanjang tidak berpasangan dengan tokoh Islam dan didukung parpol Islam.

Kita tentu tidak lupa pidato Jokowi yang menghimbau semua pihak memisahkan persoalan politik dan agama untuk menghindari gesekan antar umat.‎ Saat itu Jokowi disebut-disebut ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler. Sayangnya, memasuki tahun politik, Jokowi harus menelan ludahnya sendiri. Pemisahan politik (negara) dan agama tampaknya tidak berlaku lagi. Sebab suara umat Islam menjadi kebutuhan utama untuk memenangkan Pilpres 2019.

Direktur Institute for Javanese Islam Research, Akhol Firdaus, M.Pd, M.Ag, menilai langkah politik Jokowi sangat mudah ditafsirkan berdimensi politik karena saat ini memang tahun politik. “Tentu saja, dimensi politik tidak selalu dikaitkan dengan politik elektoral, tetapi lebih merupakan politik pewacanaan, terkait dengan agenda-agenda strategis dalam mengarusutamakan ide-ide kontra radikalisme,” kata Akhol.

Ditambahkan Akhol, Islam sebenarnya tidak berbeda dengan agama lain yang selalu menjadi instrumen politik. “Islam tidak berbeda dengan agama lain yang bisa saja digunakan sebagai instrumen politik bagi segenap kalangan yang cenderung tidak memiliki platform politik yang jelas,” terang ahli filsafat Islam ini.

Sebaliknya pemahaman konsep negara sekuler yang selalu digemborkan Jokowi, justru telah melenceng dari konsekuensi negara Pancasila yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Yang namanya nilai-nilai agama bagaimana juga harus menyinari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Itu sebabnya, sila pertama dalam Pancasila menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa yang juga disebut dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebaliknya, menyatakan radikalisme agama dan radikalisme sekuler sama-sama ancaman serius bagi Pancasila. Meski demikian dalam konteks kontra radikalisme, Akhol menilai, para elite politik seharusnya dapat mengembalikan narasi moderasi menjadi strategi pewacanaan yang baik karena mayoritas ulama juga menegaskan bahwa Islam itu sendiri bersifat moderat.

“Kita mengenal model negara yang bukan negara sekuler juga buka negara agama, dan Indonesia itu negara Pancasila yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Itulah kesepakatan kita sebagai bangsa dan akan selalu seperti itu. Konsekuensi itulah yang terus mewarnai Indonesia kontemporer sebagai negara yang dibangun di atas kesepakatan,” tutupnya. Bdo

RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Terbaru