Buka-bukaan soal OVO Masih Rugi Meski Patok Biaya Isi Ulang

Presdir OVO Karaniya Dharmasaputra

Jakarta, Nawacita – Beberapa hari lalu, OVO mengumumkan akan memberlakukan biaya sebesar Rp 1.000 untuk setiap kali isi ulang melalui channel instan seperti perbankan. Tarif isi ulang ini mulai dikenakan pada 2 Maret 2020 mendatang. Namun, OVO menyebut untuk isi ulang melalui pengemudi Grab gratis alias tanpa biaya.

Kepada detikcom, Presiden Direktur OVO, Karaniya Dharmasaputra blak-blakan terkait alasan pengenaan tarif tersebut. Berikut kutipan wawancaranya:

Terkait biaya saat isi ulang yang berlaku pada 2 Maret 2020, apa alasan OVO akhirnya mengenakan biaya tersebut?
Begini, sejak pertama kali OVO berdiri kita belum pernah kenakan charge (ongkos) kan. Ya memang seperti yang saya bilang itu, pasar ini kan baru. Dua tahun lalu orang belum kenal e-wallet, tapi e-money kan sudah begitu juga e-toll, jadi memang e-wallet sesuatu yang baru.

Sebelum ini, kita memang fokusnya melakukan edukasi kepada pasar dan masyarakat. Mengenalkan e-money itu bisa membuat layanan pembayaran menjadi lebih mudah dan murah itu paling penting. Karena jika lebih murah akan lebih mudah menjangkau masyarakat. Sekarang transaksi menggunakan cash itu masih sekitar 90%.

Segala macam transaksi keuangan itu ada backbone, ada infrastruktur dan kita kerja sama dengan mitra, pasti ada biayanya. Selama ini karena untuk kepentingan edukasi costnya kami yang tanggung. Karena itu, sekarang setelah masyarakat teredukasi dan regulator juga mengharapkan supaya industri fintech bisa tumbuh jadi bisnis yang sehat dan berkelanjutan. Nah karena itulah kita mulai kenakan charge.

Kenapa Rp 1.000 biayanya?
Pertama, kita mau yang termurah karena sudah jelas saat ini fintech berhasil mendemokratisasi industri keuangan nasional yang dulu sangat elit. Kami selalu cari cara bagaimana nih supaya lebih murah dan terjangkau dan membantu menurunkan transaksi menggunakan uang cash.

Apalagi pemerintah kan selalu bilang inklusi keuangan, esensinya di situ. Kalau dari kami angka 27-28% dari pengguna ovo itu adalah kalangan unbank dan underbank.

Memang biaya itu harus tetap terjangkau, tapi di sisi lain kami juga masih ada biaya yang harus ditanggung. Misalnya, ada pengiriman uang lewat OVO itu agar terkirim ada biayanya, kami dicharge oleh bank, oleh perusahaan switching dan sebagainya.

Nah Rp 1.000 ini yang saya ingin tekankan. Kami tidak ambil untung sama sekali nggak ambil profit. Bahkan ada beberapa komponen biaya yang nggak bisa diserap, saya nggak bisa disclose. Kasarnya saya nggak ambil untung, ini cuma membuat untuk mengurangi cost gitu.

Yakan setiap bisnis harus pertama edukasi, growing the market, ya kita harus tumbuhlah sebagai bisnis yang sehat. Jadi Rp 1.000 itu kalau dibandingin saya kira itu sangat kompetitif dan sangat murah dibanding biaya serupa lainnya. Tapi tujuannya itu jadi kita harus mulai menuju ke arah bisnis yang suatu saat bisa profit.

Dari Rp 1.000 itu berarti OVO masih menanggung kerugian?
Masih, nah itu step by step kan. Kita ini di industri masih baru banget. Kalau diikutin ewallet itukan baru tumbuh saya kira 2 tahunan ya sejalan dengan OVO aja, sebelumnya ada tapi penggunaanya tidak semassive sekarang. Kan disebut-sebut di pemberitaan ya katanya OVO itu sudah yang terdepan. Dibandingkan penetrasi emoney yang dari perbankan juga sudah sangat besar, fintech nah itu juga masih perlu edukasi.

Jadi, kita mulai berusaha mengurangi cost karena masyarakat sudah mulai teredukasi. Kita juga ingin bantu pemerintah untuk inklusi keuangan, penetrasinya masih kecil. Jadi kalau penetrasi digital payment itu masih sekitar 7% di riset morgan stanley. Masih kecil itu, tapi ini ada pertumbuhan luar biasa dalam dua tahun ini. Akan terus tumbuh ke depannya.

Jangka waktu berapa lama bisa tumbuh di atas 10%?
Oh saya kira dalam dua tiga tahun ke depan ya 10% tahun depan mestinya sudah terlampaui.

Kalau pengguna OVO paling banyak di mana sebarannya?
Nah ini kelebihannya kalau pengguna digital payment ecommerce itu lebih terdistribusi, karena dia mengikuti penetrasi internet kita. Apalagi basisnya mobile, sekarang sudah di 373 kota ya dan memang di pulau Jawa masih dominan.

Tapi begini pengguna internet kita secara nasional juga masih di Pulau Jawa masih terkonsentrasi. Kita bisa lihat kalau penetrasi perbankan itu penetrasi internet, ecommerce sudah lebih terdistribusi ke luar Jawa. Sulawesi dan Sumatera gede untuk pengguna OVO. Terjadi pertumbuhan yang bagus di Makassar dan Medan.

Banyak pengguna yang mengeluh dengan biaya isi ulang ini, bagaimana tanggapan bapak?
Di abang Grab kan tidak kita kenakan biaya. Karena itu kami melihat banyak juga nih pengguna kami yang topup melalui offline channel melalui driver, kami gratiskan makanya, itu sengaja ya.

Bisa disebutkan berapa biaya yang dikenakan bank untuk OVO?
Bervariasi sih setiap bank. Yang jelas kan kalau ada yang melalui agregator itu kami kan dicharge bukan hanya dari bank, di bank aja per transaksi Rp 1.000 kan ada tambahan biaya lainnya ada biaya switching juga. Ada beberapa bank yang juga lebih dari itu.

Lalu apa alasan akhirnya memberlakukan biaya transfer ke bank sebesar Rp 2.500?
Iya kan kita tak lepas dari infrastruktur perbankan dan di situ ada cost. Sekali lagi kita usahakan tetap terjangkau tetap murah. Kami juga diarahkan, kan bisnis. Kemarin kan ramai yang bilang kita bakar duit. Sekarang bakar duit salah, charge salah.

Saya kira wajar lah misalnya begini, ada orang jualan baju, produksi baju kan ada costnya ada harga kainnya, ada harga tukang jahitnya, pertama-tama oke deh untuk mengenalkan bajunya digratiskan dulu. Tapi apa iya mau produksi baju dan gratis terus kan enggak. Kalau bisnis kan selama keuntungannya wajar kan boleh, supaya tumbuh.

Bahkan kebijakan ini kami ambil masih ada cost yang kami tanggung. Beberapa pemain ewallet lain itu sudah lebih dulu mengenakan biaya isi ulang. Ada yang sejak 2018, ada yang 2019 kemarin itu sudah ngecharge, kami termasuk yang paling belakangan.

OVO sudah mulai berlakukan tarif transfer ke bank dan isi ulang, kira kira ada ketakutan ditinggal pengguna nggak sih pak?
Saya kira nggak, karena begini kalau kita lihat angkanya, setelah kemarin itu kita kenakan biaya transfer nggak ada penurunan. Tetap sama saja. Karena masyarakat kan saya kira semakin pintar ya semakin cerdas gitu, mereka melihat bahwa oh ini kompetitif kok.

Terus yang paling penting selama harganya reasonable, terjangkau kan saya kira masyarakat mau kok membayar apalagi kalau misalnya yang ditawarkan itu layanan-layanan yang sangat memudahkan. Itulah saya kira yang kami berinovasi gimana supaya lebih seamless.

Riset dari Morgan Stanley itu tahun lalu bikin survei sangat representative itu, disebutkan di situ bahwa pertumbuhan masyarakat Indonesia itu memang semakin prefer semakin suka, semakin ingin memanfaatkan atau bertransaksi menggunakan channel digital. Karena convenience, apalagi masyarakat urban, anak muda jarang bawa uang cash gitu ya. Nah itu mereka disurvei itu mayotitas fact majority menyatakan bahwa mereka lebih suka dan ingin, mau menggunakan pembayaran digital.

Yang kedua, dari model pembayaran itu, ternyata mereka lebih suka memilih kalau pembayaran digital yang memang berbasiskan yang merupakan produk dari perusahaan fintech seperti OVO. Karena alasan utamanya kita akan terus berinovasi agar sangat mudah, seamless nah itu yang jadi sangat penting.

Buat keamanan sendiri, kan banyak pengguna yang bilang takut simpan banyak-banyak di apps takut kebobolan bagaimana tanggapan bapak?
Saya kira di OVO kita sih sangat komit ya, teknologi yang ada di OVO kelas dunia. Di sini juga engineer juga banyak yang bergabung di sini bukan hanya dari dalam Indonesia tapi juga kita bawa best talent engineer dari India dan negara lain juga. Yang memang industri ewalletnya lebih advance dari kita.

Di kita juga membangun unit fraud ya, jadi fraud unit ini di-handle dengan sangat serius, dimonitor secara ketat, security jadi saya kira. Security di OVO menjadi hal yang sangat diprioritaskan gitu. Kemudian saya kira sudah sangat transparan ya di aplikasi nasabah ada history transaction ada apa, anytime bisa complain, kita berusaha untuk responsif terhadap komplain. Saya juga tiba tiba jadi customer service banyak yang tanya ke instagram saya berusaha untuk respons.

Bagaimana pengembangan OVO tahun 2020 ini?
Ya kita sekarang mulai menggarap serius financial services jadikan selain OVO menyediakan layanan pembayaran tapi kami juga sudah masuk ke lending. Nah lending juga targetnya UKM, kayak misalnya kita kerja sama dengan Tokopedia dan pinjaman untuk merchant online yang kebanyakan kan UKM. Kemudian investment, OVO kan juga ada saham di Bareksa, tujuannya kita mengenalkan reksa dana, membantu kementerian Keuangan untuk pasarkan obligasi pemerintah ritel ke masyarakat umum. Selama ini kan reksa dana, obligasi pemerintah biasanya dibeli hanya oleh satu orang yang sangat kaya, kedua dari dana pensiun atau lembaga yang institusi. Sekarang kan masuk ke masyarakat umum. Nah ketiga kita sudah masuk ke insurance kerja sama dengan Prudential.

Untuk point masih akan ada tahun ini?
Masih, masih dong itukan salah satu program marketing dan edukasi kita, jadi pointnya 1 poin sama dengan 1 rupiah.

Bagaimana persaingan OVO PayLater dengan bank?
Saya kira, fintech sekarang di Indonesia penetrasi kartu kredit relatif kecil gitu kan. Karena itu, sementara kan masyarakat membutuhkan skema pendanaan lah gitu. Sementara kita lihat pertumbuhan ecommerce itukan luar biasa. Karena itu, PayLater sekarang mulai populer bukan hanya di kami tapi juga di beberapa yang lain.

Jadi memang sama seperti karakter fintech pada umumnya di mana kami menyasar dan pemerintah mengharapkan fintech untuk bisa layani masyarakat menengah ke bawah.

Kalau menghadapi persaingan pemain ewallet yang makin banyak langkah OVO seperti apa?
Kalau kami sih begini, kami punya teknologi yang saya kira sangat advance itu di Indonesia. Kedua, kita itu sangat sibuk sih terus berinovasi karena tadi emoney itu sebetulnya buat kami fondasi, tapi di atas emoney lagi-lagi kita ingin memudahkan masyarakat untuk bertransaksi. Bukan untuk lakukan pembayaran, tapi dari uang mereka bisa mendapatkan kredit, di platform yang sama, investasi, asuransi, itu yang penting.

Ketiga, kami kan juga memiliki strategic partnership dengan Tokopedia. Sehingga itu tadi sangat seamless, jadi semua aktivitas sehari-hari kita kurang lebih sudah bisa kita layani. Mau berangkat kerja ngeGrab bayarnya pake OVO, gampang. Udah di Grab wah OVO saya kurang tinggal topup, gratis biayanya.

Siang di kantor laper, grabfood bayarnya pake OVO. Terus lagi capek kerja mau belanja baju ibu-ibu belanja online di Tokopedia, perlengkapan dapur itu bisa pakai OVO. Jadi fitur kita sanga kaya dan sangat banyak dan akan terus bertambah. Oh baru gajian nih mau invest, bisa ada Bareksa. Mau buka usaha nih langsung bisa pinjam juga.

Bagaimana pandangan bapak terkait pasar ewallet di Indonesia?
Besar banget, saya kira kita akan mengikuti jejak China dan India. Kalau kita lihat di negara seperti AS dan Eropa ewallet berkembang ya, di Amerika Serikat nggak ada karena kartu kredit penetrasinya luar biasa. Di China sama seperti kita, kartu kredit nggak tinggi tapi ewallet berkembang pesat.

Apa penyebabnya?
Begini saya pernah ngobrol dengan salah satu founding tim Alipay dia bilang bahwa kami topografinya keuangan di Indonesia saat ini sama seperti China 10 tahun yang lalu.

Karena, itu tadi penetrasi perbankan juga nggak terlalu tinggi yaitu banyak sekali masyarakat yang unbank, underbank di situlah fintech masuk. Fintech yang melayani masyarakat yang unbank dan underbank. Kalau ke Eropa ke Amerika itukan udah bank banget masyarakatnya. Kartu kredit penetrasinya tinggi sekali.

Jadi di sana kebanyakan orang menggunakan ewallet untuk transaksi online. Penggunaan kartu kredit masih tinggi sekali. Di sini beda, masyarakat unbank masih besar, cash transaction kembali di awal kita masih 90%. Kalau di Amerika Serikat (AS) Eropa orang sudah cashless, tapi tidak berbasiskan fintech yang di area payment.

Apakah benar orang-orang di Indonesia masih gemar menyimpan uang di bawah bantal?
Iya benar, tapi pelan-pelan mulai berubah ya kalau boleh selipin soal Bareksa ya sama nih. Waktu 2015 angka investor di pasar modal kita itu cuma 250ribuan dan angka itu nggak bergerak banyak dari tahun ke tahun.

Karena waktu itu distribusi channel yang utama dari financial product kita dari perbankan. Sementara balik lagi teknis perbankan cuma 40an%. Highly consentrated di kota besar. Nah itu OJK mendorong pemain fintech nah waktu itu Bareksa kebetulan jadi perusahaan fintech pertama yang mendapatkan lisence penjual efek reksa dana dan langsung melejit. Sekarang hanya dalam waktu 4 tahun itu jumlah nasabah kita reksa dana, obligasi sudah mencapai 1,6 atau 1,7 juta. Dari 250 ribu lompat ke situ. Termasuk yang Tokopedia juga.

Nah buktinya ya ini dari angka Bareksa, merepresentasikan 42-43% dari keseluruhan jumlah nasabah di industri pasar modal kita. Dan belum yang lain ada pemain juga kan. Saya yakin sekali ini, Bareksa baru bersinergi dengan pemain ecommerce. Setelah Bareksa disupport OVO, ewallet company, angka pertumbuhannya pasti akan lebih besar lagi ya itu saya kira gampang deh mencapai 3-4 juta nasabah itu bisa.

Dulu waktu 2015 lagi ngobrol sama bu Nurhaida itu dia sangat berjasa dalam pertumbuhan ini. Misi beliau memang progresif ingin gimana nih kita memanfaatkan teknologi finansial ini untuk mendorong penetrasi market kita, relaksasi dilakukan banyak regulasi. Dulu kalau mau beli reksa dana itu cuma boleh download formulir, printout tanda tangan basah. Kirim balik gitu.

Minimumnya gede juga dulu ya, investasi di reksa dana itu minimal berapa juta gitu. Terakhir diturunin sejuta. Kemarin saya bikin sama Tokopedia dan Bukalapak Rp 10.000 perak bisa bikin reksa dana.

Makanya itu kita sebenarnya bisa atasi masalah inklusi keuangan. Market kita yang dangkal banget, ini angkanya sudah bergerak. Jadi balik ke OVO 27-28% pengguna OVO unbank dan underbank. Kalau di dunia investasi angkanya ini sinergi lagi jalan dan diminta BI untuk masuk ke sandbox kalau sudah masuk itu angkanya akan meningkat.

Kapan masuk?

Sekarang lagi siapin dokumen, mudahan minggu ini bisa submit dokumen itu ke BI

dtk

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here