Jakarta, Nawacita — Nilai tukar rupiah berada di level Rp13.982 per dolar ASpada perdagangan Rabu (17/7). Posisi tersebut melemah 0,34 persen dibandingkan Selasa (16/7) yang di Rp13.936 per dolar AS.
Sore hari ini, sebagian besar mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS. Yuan China melemah 0,01 persen, yen Jepang melemah 0,02 persen, ringgit Malaysia melemah 0,07 persen, dan rupee India melemah 0,11 persen.
Kemudian, won Korea Selatan melemah 0,31 persen, dolar Singapura melemah 0,19 persen, dan peso Filipina melemah 0,43 persen. Di kawasan Asia, hanya baht Thailand dan dolar Hong Kong saja yang menguat terhadap dolar AS masing-masing sebesar 0,05 persen dan 0,03 persen.
Sementara itu, pergerakan mata uang negara maju terbilang bervariasi. Euro tidak bergerak terhadap dolar AS, sementara poundsterling Inggris melemah 0,1 persen dan dolar Australia melemah 0,02 persen.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan rupiah kembali terkapar karena sentimen global pada hari ini. Sentimen pertama muncul dari kelanjutan perang dagang antara AS dengan China.
Di dalam rapat kabinet di Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump membuka peluang kembali untuk menaikkan bea masuk bagi impor China senilai US$325 miliar. Padahal, pada pertemuan antara Trump dan Presiden China Xi Jinping di KTT G20 Juni lalu, Trump memberi sinyal untuk menunda kenaikan bea masuk bagi impor China.
Sentimen kedua, lanjut Ibrahim, juga muncul dari Inggris. Ada kemungkinan Boris Johnson memenangkan kontes kepemimpinan Partai Konservatif dan mengambil alih posisi sebagai Perdana Menteri Inggris.
“Jadi memang rupiah hari ini melemah karena kondisi global yang cukup kuat,” jelas Ibrahim, Rabu (17/7).
Sentimen ketiga adalah data perekonomian AS yang tengah menguat. Kemarin, Departemen Perdagangan AS merilis data bahwa penjualan ritel AS tumbuh 0,4 persen. Sehingga, ini bisa menjadi pemicu bagi bank sentral AS The Fed untuk tidak menurunkan suku bunga acuannya.
“Sementara pemotongan suku bunga Fed telah menjadi kesimpulan terdahulu. Tetapi tampaknya tidak ada konsensus tidak hanya di pasar tetapi di dalam Fed sendiri terkait hal tersebut,” pungkas dia.