Jakarta, nawacita – PT Pertamina (Persero) memproyeksikan rasio cadangan migas atau reserve replacement ratio (RRR) tumbuh 200 persen sampai 400 persen per tahun. Peningkatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Direktur Pengembangan Pertamina Hulu Energi Bambang Manumayoso mengatakan, penurunan produksi alamiah (decline) dan anjloknya harga minyak dunia menjadi tantangan terbesar Pertamina saat ini.
Pria yang sekaligus menjadi Ketua Tim Tata Kelola (Tranformasi) Upstream Pertamina mengatakan, berbagai upaya akan dilakukan Perseroan, tidak hanya bisa bertahan saat ini namun juga bagaimana tetap bisa bertumbuh ke depannya. Hal ini dilakukan karena Pertamina secara korporasi merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang harus mengamankan energi nasional.
“Secara korporasi Pertamina adalah Indonesian Flag Carrier.Pertamina yang menurut undang-undang, satu-satunya yang harus men-secure energi nasional, baik migas maupun geothermal,” kata Bambang dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (19/8/2016).
Menurut dia, upaya yang dilakukan Pertamina saat ini adalah menahan penurunan produksi dengan menggunakan teknologi tepat guna. Selain itu, Pertamina juga harus terus melakukan eksplorasi. Karena tanpa itu, tidak akan mampu menggantikan maupun menambah cadangan yang sudah diproduksikan.
“Strategi Direktorat Hulu secara korporasi sudah sangat jelas, bahwa bagaimana caranya produksi migas Hulu harus bisa naik, dan reserve replacement ratio (RRR) juga harus naik sehingga reserves yang sudah diproduksikan harus diganti dengan reserves baru yang lebih tinggi, sehingga perusahaan bisa lebih panjang hidupnya, untuk itu kami sebagai salah satu Anak Perusahaan Hulu bertekat untuk mengejar target tersebut,” tambahnya.
Pertamina memproyeksikan pertumbuhan produksi migas 8 persen per tahun sepanjang 2015-2030. Pada periode 2010-2015, performance produksi migas perseroan rata-rata tumbuh 6 persen per tahun dengan cadangan migas rata-rata meningkat 4,4 persen per tahun.
Bambang mengatakan, dampak yang rasional dari penurunan harga minyak ada pada biaya produksi per barel, karena belanja modal dan operasional tinggi, hingga produksi menjadi turun. Jika pada Agustus 2014, harga minyak masih sekitar USD70 per barel, pada Februari 2016 harga anjlok hingga mencapai USD26 hingga USD27 per barel.
“Pertamina memiliki tantangan besar. Namun dengan berbagai upaya yang dilakukan Pertamina tetap bisa survive, meski keuntungan yang diperoleh juga menurun,” kata dia.
Untuk itu, lanjut Bambang, yang dilakukan Pertamina Hulu adalah mengubah paradigma lama dengan yang baru, yaitu yang sebelumnya lebih cenderung ke Production at any Cost, sekarang menjadi Creating More Values (Production dan Value of Investment) dari semua asetnya.
Menurut dia, sejak hingga sekarang Pertamina Hulu melakukan proses differensiasi terhadap semua asetnya, dengan menggunakan clustering asset dan porotfolio sehingga tampak asset mana yang memberikan impactterbesar dan mana asset yang memberikan impactterendah. Dari gradasi impact tersebut masing-masing aset harus bisa memberikan valueterhadap perusahaan, namun demikian apabila asset tersebut sudah sangat sulit untuk memberikan value maka dilakukan Hibernation atau suspension.
“Ini untuk memberikan ruang perbaikan di aset yang masih ada value-nya,” ungkap Bambang.
Saat ini, paradigma bisnis model upstream baru Pertamina terus digencarkan. Secara operasional seperti apa misalnya, Improve Performance baik dari sisi Volume maupun Value, Optimasi Investasi (Capex), melakukan action untuk Growth (terutama Business Portfolio), implementasi Operasional Excellent pada setiap High impact Project, Pembenahan berkelanjutan untuk Business process dan people Development.
Efisiensi dan rasionalisasi program juga terus dilakukan, dengan menurunkan cost perbarel. Jika dulu beberapa asset dengan operating cost-nya diatas USD30 per barel, sekarang bisa ditekan di bawah USD20 per barel.
“Rata-rata sudah turun semua. Dari segitu banyak bisa kami turunkan. Jadi biaya-biaya operasioanal dikurangi,” tandasnya.
Sumber : okezone.com