Komisi B DPRD Jatim Sarankan Pengelola The Soemo Hills Pacet Bagi Keuntungan ke Masyarakat Desa

Surabaya, Nawacita – Komisi B DPRD Jawa Timur terus mematangkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemberdayaan Desa Wisata. Harapannya, setelah disahkan Perda ini disahkan nantinya dapat meningkatkan sektor ekonomi masyarakat di desa setempat.

Untuk mematangkan Raperda tersebut, Komisi bidang perekonomian ini melakukan kunjungan kerja ke beberapa obyek wisata. Salah satunya The Soemo Hills Pacet, Mojokerto, Kamis (14/10/2021).

Wakil Ketua Komisi B DPRD Jatim Amar Syaifudin menyatakan, objek wisata The Soemo Hills Pacet selama ini dikelola oleh tiga komponen. Yakni, pihak swasta Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Perum Kehutanan Negara Indonesia (Perhutani).

“Dari pengelolaan ini, kita harapkan Komisi B DPRD Jatim mendapat masukan terkait sistem pengelolaan di sini. Karena kita lagi menyusun Perda tentang pemberdayaan desa wisata,” kata Amar Syaifudin di sela-sela pertemuan dengan pengelola objek Wisata The Soemo Hills Pacet, Mojokerto.

Namun, dari hasil paparan pihak pengelola The Soemo Hills Pacet, Komisi B mengaku cukup kaget. Mengingat, hasil keuntungan pengelolaan objek wisata The Soemo Hills Pacet selama ini belum ada retribusi yang masuk ke desa setempat.

“Kita sempat kaget juga. Karena selama ini masih belum ada retribusi ke desa setempat. Tadi saya tekankan supaya ada retribusi ke desa. Karena bagaimanapun juga meskipun ini wilayah perhutani tapi kan masuk wilayah administratif sebuah desa,” kata politikus asal PAN.

Dijelaskan Amar, hingga saat ini juga belum ada retribusi yang masuk ke Pemkab Mojokerto karena keuntungan dari objek wisata The Soemo Hills Pacet hanya dinikmati oleh tiga komponen tersebut. “Jadi keuntungan dari pengelolaan objek wisata ini ya (masuk) ke tiga komponen tadi. Pihak swasta, LMDH dan Perhutani,” ungkapnya.

Padahal, di sisi lain ketika terjadi bencana alam, baik Pemkab Mojokerto maupun Pemprov Jatim tentu akan ikut berperan ambil bagian dalam penyelesaian. Namun, terkait hasil keuntungan dari objek wisata tersebut, selama ini hanya dapat dinikmati oleh tiga komponen.

“Makanya kita sempat singgung juga kalau misalnya ada bencana alam, yang repot kan Pemkab dan Pemprov. Tapi ketika mereka mengambil keuntungan dari objek wisata ini yang notabene secara administratif ikut desa atau provinsi, masyarakatnya tidak dapat apa-apa,” sindir mantan Wabup Lamongan ini.

Oleh karena itu, Komisi B DPRD Jatim menyarankan pengelola The Soemo Hills Pacet agar dapat memberi manfaat dan berkontribusi ke desa setempat. Meskipun, lahan yang dijadikan objek wisata itu milik Perhutani.

“Meskipun lahannya milik perhutani, harus memberi manfaat atau kontribusi kepada masyarakat desa. Bukan hanya kontribusi ekonomi, tapi kita harap ada kontribusi langsung ke desa (kas desa). Nanti kita masukkan ke dalam salah satu klausul dalam Raperda,” jelasnya.

Saat ini, penyusunan Reperda Desa Wisata telah rampung di tingkat komisi. Dalam waktu dekat, Raperda ini akan diserahkan ke Badan Pembentukan Perda (Bapperda) DPRD Jatim agar segera diputuskan dan dibawa ke rapat paripurna. Pihaknya pun menargetkan, Perda Desa Wisata segera disahkan di tahun 2021 ini.

“Target tahun ini selesai. Ini sangat penting karena banyak ditunggu oleh pemerintah kabupaten/kota. Khususnya, teman-teman Pokdarwis, teman-teman lembaga desa yang mengelola objek wisata. Selama ini kan belum ada badan hukumnya dan ini saya kira penting dan mendesak sehingga tahun ini kita selesaikan,” imbuhnya.

Senada, anggota Komisi B DPRD Jatim lainnya, Daniel Rohi juga mengusulkan agar pengelolaan wisata The Soemo Hills Pacet dapat dilakukan secara bipartit. Artinya, juga melibatkan pihak pemdes dalam pengelolaan maupun dalam pembagian hasil keuntungan objek wisata.

“Oleh sebab itu saya usulkan jangan tripartit, tapi bipartit. Libatkan juga pemerintah desa agar juga ikut memikirkan, ikut berkontribusi dan ikut mendapatkan manfaat,” kata Daniel Rohi.

Pertimbangan pelibatan Pemdes, lanjut Daniel karena ketika objek wisata itu berkembang, maka secara otomatis yang kena dampaknya adalah warga desa setempat. Misalnya, jalan menjadi rusak karena mobilitas kunjungan wisatawan, hingga kenyamanan dan keamanan warga desa terganggu.

“Kan banyak orang (wisatawan) keluar masuk. Mereka (warga desa) akan menjadi korban mobilitas dan masuknya nilai-nilai baru. Oleh sebab itu ongkos mereka (warga desa) harus kita coba pikirkan satu-satu supaya mereka (warga desa) juga bisa dapat (manfaat),” pintanya.

Menurut Daniel, selain warga desa mendapat manfaat dari CSR, seharusnya mereka juga menerima keuntungan dari hasil pengelolaan objek wisata. Misalnya, hasil keuntungan dari variable cost pengelolaan wisata, perhutani mendapatkan 30 persen. Nah, dari 30 persen keuntungan itu, 10 persennya bisa masuk ke kas desa.

“Variable cost ini kita bagilah, perhutani kasih 10 persen ke desa. Perhutani dapat 20 persen. Tapi, selama ini desa hanya dapat 0 persen,” ungkap dosen nonaktif Universitas Petra Surabaya.

Desa yang dijadikan lokasi objek wisata jangan tak hanya menerima sampah. Namun setiap desa yang dijadikan lokasi objek wisata harus menerima manfaat atau keuntungan langsung dan bukan hanya tidak langsung.

“Seperti warung-warung sekitar wisata itu menerima keuntungan tidak langsung. Itu alami yang tidak boleh diperhitungkan dalam kebijakan. Kalau manfaat langsung ya pembagian keuntungan. Supaya apa? desa itu merasa memiliki tempat ini dan mereka memproteksi agar terciptalah suatu budaya pariwisata,” harap Daniel.

Dengan terciptanya budaya pariwisata itu, maka masyarakat sekitar wisata akan siap menerima wisatawan yang datang. Daniel menilai, meski objek wisata itu bagus, namun apabila budaya pariwisata masyarakat sekitar belum terbangun, maka ini dapat menjadi suatu kendala pengembangannya.

“Budaya itu kan paling susah. Kita punya tempat yang bagus tapi tidak punya budaya pariwisata, kan susah. Contoh di Bali punya tempat bagus, orangnya welcome tidak resek. Mereka saling menghargai dan saling menguntungkan. Itulah hal-hal pokok yang perlu kita rumuskan dalam aturan nanti,” ujarnya.

Dengan demikian, kata Daniel, misalnya ketika nanti objek wisata itu sepi pengunjung, maka pemdes dan masyarakatnya juga ikut bertanggung jawab untuk meramaikannya. Sehingga, diharapkan pula masyarakat sekitar juga ikut memiliki rasa kepedulian terhadap objek wisata tersebut. “Jadi masyarakat di desa itu ikut bertanggung jawab membangun, mempunyai rasa memiliki juga,” katanya.

Di sisi lain, pihaknya juga berharap pengelolaan pariwisata di Jatim pada prinsipnya menggunakan konsep sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan. Artinya, apapun konsep pariwisata di Jatim harus tetap bertumpu pada tiga elemen dasar.

“Pertama dia (objek wisata) harus menguntungkan secara ekonomi. Lalu, menciptakan harmoni sosial. Dan ketiga, konservasi terhadap lingkungan alam maupun lingkungan buatan dimana objek itu berada,” pungkasnya. (pun)

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here