‘Wiro Sableng,’ dari Toko Loak Kalahkan Filipina dan Vietnam

top banner

Jakarta, Nawacita — Kalau Amerika punya pahlawan super seperti Captain America atau Iron Man, Wiro Sableng didesain sebagai pahlawan superhero asli Indonesia. Busana, tingkah laku, cerita, dialog, sampai senjata pun lokal. Tokoh itu juga pernah jadi cerita fiksi terbesar di Indonesia.

Adalah Bastian Tito, sang genius di balik cerita Wiro Sableng. Penulis kelahiran Agustus 1945 itu menuangkan imajinasinya akan pendekar khas Indonesia dalam 185 novel yang diterbitkan dalam kurun 39 tahun sejak 1967. Pada masanya, novel itu laris manis.

Popularitas Wiro Sableng semakin meroket pada era 1980-an karena ia diadaptasi ke film. Karakter Wiro kala itu diperankan oleh Tony Hidayat. Cerita yang sama kemudian sempat diadaptasi dalam sinetron pada era 1990-an, dengan bintang Herning Sukendro alias Ken Ken.


Era 2000-an, Wiro Sableng seakan hilang ditelan bumi.

Banyak sebenarnya yang ingin menghidupkan kembali sang Pendekar 212. Namun keluarga Bastian-sang penulis meninggal pada Januari 2006-menolak berbagai tawaran dengan alasan tak ingin karakter yang identik dengan senjata kapak itu jatuh ke tangan yang salah.

Sampai akhirnya, datanglah Sheila (Lala) Timothy, CEO Lifelike Pictures pada awal 2015.

Lala kebetulan merupakan kakak ipar aktor Vino G. Bastian, putra Bastian Tito. Sejak awal ia menyadari potensi Wiro Sableng, namun tak berani ambil risiko mengangkatnya jadi film.

“Awalnya saya enggak berani karena saya tahu ini laga dan fantasi. Artinya kalau mau dibikin keren harus riset yang luar biasa dan perlu ngumpulin orang-orang yang punya hati dan passion,” kata Lala saat ditemui CNNIndonesia.com di Jakarta Pusat, pekan lalu.

Lala sendiri tak terlalu tahu kisah Wiro Sableng.

Ia pun menggalinya lewat 10 novel pertama–yang didapat dari berburu ke toko loak seperti Blok M Square maupun versi digital–dan langsung jatuh cinta.

Menurutnya, cerita Wiro Sableng sangat bisa dikembangkan. Sineas 46 tahun itu pun mulai serius menggarap film Wiro Sableng dengan mengumpulkan 185 novel. Ada lima orang ditugasi membaca semuanya.

Setelah membaca dan berdiskusi, Lala membuat alam semesta atau universe Wiro Sableng. Seperti Marvel Cinematic Universe dalam film-film pahlawan super karya Marvel Studios.

Sembari membuat semesta Wiro selama satu tahun di 2015, Lala juga membuat catatan (log book) yang berisikan data karakter lengkap dengan deskripsi fisik, jurus dan lain sebagainya. Lala meyebut data itu sebagai ‘kitab suci’ Wiro Sableng.

“Ketika sudah jadi satu film dan mau bikin lagi, saya tinggal buka log book. [Saya tahu] katrakter ini bisa masuk ke mana tanpa berkhianat pada cerita aslinya walau plot structurecerita sudah berkembang,” kata Lala menjelaskan kegunaan log book itu.

Di tahun yang sama, Lala bertemu dengan Michael J. Werner yang kala itu merupakan penasihat Fox International Production. Kebetulan anak perusahaan 20th Fox Century itu ingin melebarkan sayap ke Asia Tenggara, terutama Indonesia, Vietnam dan Filipina.

Mereka sebelumnya bertemu karena film Lala seperti Pintu Terlarang (2009) dan Modus Anomali (2012) tayang di festival film internasional. Lala pun tak segan bercerita bahwa dirinya sedang menggarap film Wiro Sableng. Werner belum bereaksi berlebihan kala itu.

Lala tak putus asa. Ia tetap membentuk tim yang berisikan orang terbaik di bidangnya. Berbekal log book, ia menulis naskah bersama Tumpal Tampubolon dan Seno Gumira Ajidarma yang banyak tahu soal sejarah. Cerita Wiro Sableng memang berlatar abad ke-16.

Naskah film ditulis berdasarkan empat novel pertama bertajuk Empat Berewok Dari Goa Sangreng, Maut Bernyanyi di Pajajaran, Dendam Orang-orang Sakti, dan Keris Tumbal Wilayuda.

Ia juga menggandeng mengajak aktor sekaligus pesilat Yayan Ruhiyan sebagai koreografer, Ardianto Sinaga sebagai art director, Caravan Studio sebagai art designer dan Aria Prayogi sebagai music composer serta sound designer. Tim kecil Lala pun mulai lengkap.

“Tiba-tiba Michael bilang Fox mau datang ke Hongkong International Film Festival 2017. Dia tanya apa [Wiro Sableng] sudah siap. Saya bilang sudah, padahal belum,” kata Lala sambil tertawa. Di sana, ia presentasi habis-habisan soal semesta Wiro Sableng yang digarapnya.

Seperti Lala, Fox International Production pun jatuh cinta. Mereka memilih bekerja sama dengan Lifelike Pictures dan membatalkan masuk ke Vietnam dan Filipina, demi Wiro Sableng.

Wiro Sableng pun menjadi film pertama di Asia Tenggara yang ikut digarap Fox International Production. Meskipun, semua kreasi digarap oleh talenta lokal.

Nostalgia Wiro Sableng Lawas

Meski kini go international, Lala memang tetap ingin mengedepankan orisinalitas Wiro Sableng sebagai pendekar Indonesia. Ada beberapa unsur penting dari novel dan sinetron yang tetap dipertahankan agar bisa menjangkau berbagai penggemar Wiro.

Beberapa adegan misalnya, mengandung dialog yang sama persis dengan novel. Ada pula beberapa adegan yang sengaja dibikin serupa seperti dalam sinetronnya dahulu.

Lala bahkan tetap mengajak aktor Herning Sukendro alias Ken Ken yang dulu berperan sebagai Wiro Sableng di sinetron. Ia bahkan sengaja dibikin beradu akting dengan Vino yang didapuk menjadi pemeran utama, sebagai Wiro Sableng. Salah satunya, saat mereka di dalam kedai.

“Saya tampilkan Ken Ken supaya nostalgia. Kami tahu ada tiga bagian pasar besar untuk Wiro, yaitu pembaca buku, penonton sinetron dan anak milenial zaman sekarang,” kata Lala.

Setelah naskah rampung Lala berburu sutradara. Jodoh lalu mempertemukan Wiro dengan Angga Dwimas Sasongko. Angga, kata Lala, berkomitmen setia pada naskah yang sudah ditulis.

cnn

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here