PONTIANAK, NAWACITA – Kapolri Jendera Tito Karnavian mendorong Kepolisian Daerah di Indonesia untuk berani mengusut kasus kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan korporasi. Bahkan, dia bersedia memberi hormat pada Polda yang dapat menjerat korporasi yang melakukan land clearing.
“Korporasi (pembakar lahan) harus ditangkap dan diproses, sepanjang bisa dibuktikan melakukan pembakaran secara ilegal harus diproses hukum untuk memberikan efek deteren. Bisa dijerat dengan pidana korporasi. Kalau bisa melakukan itu, saya akan beri hormat kepada Polda,” kata Tito, Minggu 21 Agustus 2016 di Pontianak.
Terkait dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan untuk kasus Karhutla yang melibatkan korporasi, Tito menyatakan, penyidik kepolisian mempunyai alasan yang kuat. Beberapa permasalahan jamak yang menyebabkan dilakukan SP3 antara lain, saat itu kebakaran sangat luas sehingga semua perusahaan yang lahannya terbakar dipasangi garis polisi.
Setelah penyidikan, kata dia, ternyata lahan tersebut terbakar karena ada kawasan pemukiman di dalam lahan konsesi perusahaan. Warga yang bermukim di dalam konsesi perusahaan ini kemudian membuka lahan dengan cara dibakar. Namun api membesar dan tidak terkendali.
“Mereka tinggal di area yang masih dalam status konflik lahan dengan perusahaan,” katanya. Karena pelaku pembakaran adalah masyarakat yang tinggal dalam konsesi perusahaan, maka pihak perusahaan tidak bisa dijerat pidana.
Tito menegaskan, Polri akan melakukan penegakan hukum yang lebih kuat untuk para pelaku pembakaran hutan dan lahan, baik kepada perorangan maupun korporasi untuk memberikan efek gentar. “Hal ini memerlukan keberanian, saya yakin para Kapolda dan jajaran berani menegakkan hukum,” katanya.
Terkait dengan payung hukum, Polri menilai harus ada aturan yang menjabarkan lebih detil mengenai izin melakukan pembakaran oleh masyarakat adat seluas 2 hektar. Aturan ini, bisa didetilkan oleh pemerintah daerah setempat dengan merinci dan mendata siapa saja masyarakat adat di daerahnya. “Jika nanti yang membuka lahan dengan bakar bukan masyarakat adat, ya diproses,” ujarnya.
sumber : tempo.co