Jakarta,Nawacita — Wacana melonggarkan syarat pemberian remisi atau pengurangan masa pemidanaan untuk terpidana kasus tindak pidana korupsi kembali mencuat awal Agustus ini. Isu tersebut terus berulang, seiring rencana Kementerian Hukum dan HAM merevisi peraturan pemerintah tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan.
Juni lalu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebenarnya telah mengutarakan rencana pemerintah menerbitkan peraturan baru terkait pemberian remisi.
Laoly berkata, PP 99/2012 menggunakan filosofi hukum yang tidak tepat. Menerbitkan PP baru yang memberikan hak setara bagi seluruh narapidana pun disebutnya sebagai jalan keluar atas persoalan tersebut.
“Kami akan perbaiki karena filosofinya semua warga binaan harus mendapatkan remisi,” ucap Yasonna saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, ketika itu.
Hak narapidana diatur pada UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 ayat (1) pada beleid itu menyebutkan 12 hak narapidana.
Beberapa hak narapidana itu antara lain mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti mengunjungi keluarga.
Sebagai aturan pelaksanaan pemberian remisi, UU itu mensyaratkan penerbitan PP. Delegasi itu baru terwujud ketika Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie meneken PP 32/1999.
Pasal 34 pada PP itu memungkin setiap narapidana yang berkelakuan baik mendapatkan remisi. Potongan masa pidana tersebut dapat bertambah jika sang narapidana berjasa kepada negara, bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan dan membantu kegiatan lapas.
PP 32/1999 menjelaskan secara detail beberapa terminologi terkait remisi untuk mencegah kerancuan. Narapidana yang berkelakuan baik adalah mereka yang namanya tidak pernah tercatat dalam buku register F.
Sementara itu, ukuran berjasa bagi negara adalah menghasilkan karya yang berguna untuk pembangunan atau mencegah pelarian tahanan dan narapidana dari lapas.
Satu syarat lainnya, bermanfaat bagi negara dan kemanusiaan ditandai dengan keikutsertaan menanggulangi bencana alam dan donor organ tubuh atau darah.
Melalui PP 99/2012 Pemerintah menambah syarat pemberian remisi bagi para narapidana tindak pidana korupsi, terorisme dan narkotik. Pengaturan atas tiga extra ordinary crime itu baru muncul di tahun 2000-an.
Aturan Tersendiri
Khusus remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi, PP 99/2012 menyebut dua syarat tambahan, yakni bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatannya (justice collaborator) dan membayar lunas denda serta uang pengganti.
Persoalan muncul atas dua syarat baru tersebut. Kepala Lapas Cipinang, Jakarta, Edi Kurniadi misalnya, menyebut keharusan menjadi justice collaborator merupakan kendala pemberian remisi.
“Warga binaan memang boleh mengajukan remisi, tapi seringnya terhalang di persyaratan justice collaborator itu,” ucapnya.
Institute for Criminal Justice Reform belakangan menyatakan, lembaga penegak hukum belum memiliki sudut pandang yang sama atas terminologi justice collaborator. Akibatnya, penafsiran atas keikutsertaan narapidana membongkar kejahatan masih abu-abu.
“Cara pandang hakim, jaksa, dan LPSK atas pelaku bekerja sama yang berbeda-beda inilah yang mengakibatkan reward atas pelaku yang bekerja sama sulit didapatkan. Ini diakibatkan kurang harmonisnya peraturan soal pelaku yang bekerja sama,” ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Eddyono.
Di satu sisi, wacana peringanan syarat remisi bagi koruptor tidak berjalan lurus dengan salah satu persoalan utama lapas di Indonesia: tingkat hunian lebih tinggi daripada kapasitas (over capacity).
Yasona sejak awal telah mengutarakan hal tersebut. Ia berkata, pengurangan kapasitas lapas hanya akan mejadi efek samping dari pelonggaran syarat remisi bagi koruptor.
“Memang akan ada dampaknya ke over capacity, tapi kami harus koreksi dulu filosofinya,” kata Yasonna.
Pernyataan tersebut sedikit berbeda dengan apa yang diutarkan Dirjen HAM Kemkumham Muallimin Abdi, April lalu.
“Saat ini analoginya adalah, yang masuk ke LP 1.000 orang, tetapi yang keluar 100 orang karena enggak dapat remisi,” kata dia.
Data Ditjen PAS hingga Agustus 2016 menunjukkan, dari 33 kantor wilayah di seluruh Indonesia, hanya enam kanwil yang tidak mengalami kelebihan kapasitas. Sisanya, persentase over capacity mencapai dua hingga 191 persen.
Kelebihan kapasitas itu bukan melulu karena tingginya angka tindak pidana korupsi yang telah divonis dan diekseskusi. Hingga 30 Juni lalu misalnya, baru 375 perkara korupsi yang disidik KPK berhasil tuntas di pengadilan.
Sebagai lembaga yang berdiri di garis depan pemberantasan korupsi, KPK pun selalu menyatakan ketidaksetujuan mereka atas wacana pelonggaran syarat remisi bagi koruptor.
“Kami ingin memberikan efek jera. Harapan KPK, jangan ada remisi,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo pekan lalu.Mengutip Elshinta, seperti yang dipublikasi laman Sekretariat Kabinet, Maret 2015, Presiden Joko Widodo menyebut wacana pengurangan syarat remisi bagi koruptor muncul dari Kemenkumham.
“Kalau dari saya enggak usah dikasih remisi.” ucapnya.
Muara wacana pelonggaran syarat remisi koruptor saat ini belum terlihat. Yasonna pekan lalu mengatakan, kementeriannya masih merancang sistem pengurangan masa pidana bagi para koruptor.
“Banyak juga dari mereka (narapidana koruptor) merasa terzalimi. Makanya, sekarang kami bangun sistem,” tuturnya.
sumber: cnn