Kampung Ketupat Bandung, Tradisi Turun Temurun Jadi Pengrajin Ketupat Setiap Jelang Lebaran
BANDUNG, Nawacita – Kampung Ketupat Bandung, Menjelang lebaran atau Hari Raya Idulfitri, serba serbi yang menjadi ciri khas setiap lebaran mulai bermunculan. Salah satu ciri khas yang melekat dengan perayaan Idulfitri adalah ketupat. Di Bandung, ada salah satu kampung yang semua warganya secara turun temurun menjadi pengrajin cangkang ketupat.
Kampung tersebut bernama Kampung Ketupat yang terletak di Kelurahan Babakan Ciparay Kota Bandung. Dari mulai orang tua, orang muda bahkan anak -anak di kampung ini mewarisi teknik membuat cangkang ketupat secara turun temurun sejak dulu. Menjadi pengrajin ketupat seolah sudah menjadi tradisi turun temurun yang terus diwariskan di kampung ini.
Nurhayati salah satunya, wanita berumur 65 tahun itu mengaku sudah sekitar 30 tahunan menjadi pengrajin cangkang ketupat. Ia mewarisi teknik membuat cangkang ketupat dari neneknya sejak dirinya masih berusia 25 tahun.
“Sudah 30 tahunan buat kupat (ketupat) soalnya dari nenek dari kecil di umur 25 an lah (sudah belajar membuat ketupat),” kata Nurhayati saat diwawancarai, Minggu, (30/3/2025).
Meski telah berusia tua, tangannya terlihat masih lihai dalam membuat cangkang ketupat. Tidak hanya saat momen lebaran, ia juga membuat cangkang ketupat setiap hari untuk dijual ke pasar dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan dengan menjadi pengrajin ketupat, dirinya bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke bangku kuliah.
Baca Juga: Sejarah Lebaran Ketupat, Tradisi Budaya Masyarakat Jawa Usai Idul Fitri
“Sudah biasa ibu sehari-hari membuat kupat untuk jualan ke Pasar Baru, ke Jatinangor. Suka dukanya ya saya dari usaha ini bisa menyekolahkan anak-anak sampe kuliah,” imbuh dia.

Selain itu, Ayi Rohmat yang juga seorang warga di kampung tersebut menggeluti usahabyang sama dengan Nurhayati. Pria berumur 40 tahun itu mengaku sudah menjadi pengrajin ketupat sejak umur 15 tahun. Berawal dari membantu ibunya menjual ketupat di pasar, ia menjadi tertarik untuk belajar membuat ketupat.
“Sudah lama dari umur 15 karena ibu sehari-hari jual, tapi bukan ketupat yang putih, ketupatnya yang ijo,” ujar Ayi Manto saat diwawancarai, Minggu (30/3/2025).
Kini, membuat ketupat sudah menjadi usaha keluarga yang dimilikinya. Itu menjadi pilihan Ayi Manto agar tradisi menjadi pengrajin ketupat yang diwariskan dari nenek moyangnya tidak hilang. Ia juga mengajarkan teknik membuat ketupat kepada anak-anaknya agar tradisi tersebut memiliki generasi penerus selanjutnya.
“Sudah menjadi usaha keluarga, menjaga tradisi juga ya namanya juga blok kupat dari nenek moyang, nanti anak-anak juga mengerjakan ini,” tambah Ayi Manto.
Di momen menjelang lebaran seperti saat ini, ia mengaku sudah mendapat pesanan sejak H-5 lebaran. Dalam sehari, dirinya bisa memproduksi 10 ribu ketupat untuk dijual ke Pasar Dayeuh Kolot dan Muhammad Toha.

“Sudah bikin wadah ketupat dari h-5, kalau yang sudah biasa memakan waktu setengah hari dapat 10 ribu. Ini gak sampe satu menit sudah jadi. Nanti dijual ke yang pesen atau ke Dayeuhkolot, Muhmad Toha satu iketnya isi 10 biji,” tutur dia.
Dalam membuat ketupat, ia selalu memesan daun kelapa muda dari Cianjur dan Tasikmalaya. Ukuran daun kelapa yang dipakai juga berbeda-beda tergantung ukuran ketupat yang akan dibuat.
“Ini daunnya dikirim dari Cianjur, Tasikmalaya ada yang kirim ke sini. Beda-beda daunnya ada yang besar dan kecil sekali ngirim 100 iket. Kalau janur satu iket ada yang 280 isinya 2000 daun, tapi kan paling jadinya 1500 ketupat,” kata dia.
Warga lainnya, Wawan (48) juga memilih untuk meneruskan tradisi keluarga menjadi pengrajin ketupat. Ia mengaku sudah diajari membuat cangkang ketupat sejak kecil oleh neneknya. Dengan tangan lihainya cangkang ketupat selesai dalam sekejap. Ia juga menggeluti usaha pembuatan ketupat secara turun temurun dari neneknya.
Selain dirinya, hampir semua anggota keluarganya juga merupakan pengrajin ketupat. Bukan hanya saat momen lebaran, menjadi pengrajin ketupat juga menjadi mata pencaharian Wawan setiap harinya.
“Dari dulu, dari nenek saya, sekarang ke ibu saya, dan ke anak-anaknya. Makanya dinamakan kampung ketupat karena disini kan tiap hari juga bikin. Tapi yang tua yang ketupat warna putih kalau lebaran, kalau hari hari biasa kan ketupat yang ijo. Ya hampir semua kebanyakan yang sehari-hari (jadi pengrajin ketupat),” ujar Wawan saat diwawancarai, Minggu (30/3/2025).
Apalagi, pada momen menjelang lebaran dirinya biasa menerima pesanan dalam jumlah banyak. Seperti tahun ini, Wawan mengaku menerima pesanan sebanyak 10.000 cangkang ketupat.
“kemarin udah ada yang masuk, udah ada yang pesen. Biasanya kalo momen lebaran kaya sekarang bisa nyampe sepuluh ribu. Makanya ini kan keluarga ada lima orang, kita bagi tugas satu orangnya bikin dua ribu,” pungkas dia.
(niko)


