Jawa Timur Kekurangan Dokter, Ketua IDI: Rasionya Di Bawah Standar WHO
SURABAYA, Nawacita – Jawa Timur Kekurangan Dokter, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur menilai jumlah dokter di Jatim masih belum memenuhi rasio sesuai standar World Health Organization (WHO).
IDI Jatim mencatat jumlah dokter di Jawa Timur saat ini mencapai 21.000 orang. Ketua IDI Jawa Timur, dokter Sutrisno mengatakan jika berpatokan pada standar WHO, rasio ideal dokter adalah 1:1.000.
Melansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Januari 2023, jumlah penduduk Jawa Timur sebanyak 41.416.407 (41,4 juta) jiwa. Maka, jika dirasiokan antara jumlah dokter dan jumlah penduduk Jawa Timur 1:1.972. Dalam artian jumlah dokter di Jatim kurang dan dibawah rasio ideal WHO.
“Bahwa idealnya tiap 1 dokter melayani 1.000 penduduk. Jika dilihat dari jumlah tersebut, maka bisa dilihat jika jumlah dokter di Jatim terbilang masih kurang,” ujar Ketua IDI Jatim seusai menghadiri press conference HUT IDI di Kantor Sekretariat IDI Jawa Timur, Kota Surabaya, Kamis, 19 Oktober 2023.
Baca Juga: Distribusi Dokter Tidak Merata, Ini Tanggapan Ketua PB IDI
Menurutnya, pemerintah memiliki peranan besar dalam mengatur distribusi dokter di Indonesia. Tidak hanya itu, diperlukan membangun sinergitas antara stakeholder bidang kesehatan, diantaranya pemerintah, lembaga perguruan tinggi Dikti, dan IDI sebagai organisasi resmi profesi dokter.

“Kami organisasi siap membantu dan mendukung keputusan pemerintah.Fasilitas merata di tanah air, akses merata di tanah air, honor juga merata. Maka pemerataan pelayanan kesehatan saya jamin,” tegas dokter Sutrisno.
Selaras dengannya, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, dokter Moh. Adib Khumaidi mengatakan pentingnya bagi pemerintah daerah, baik Kabupaten atau Kota untuk melakukan assessment terkait kebutuhan dokter di wilayahnya. Hal ini untuk mengetahui berapa kebutuhan dokter umum dan dokter spesialis untuk menjamin kesehatan di daerahnya.
“Assessment tiap daerah ini sangat penting mengingat kebutuhan tiap daerah itu berbeda. Luas wilayah dan jumlah penduduk masing-masing daerah ini berbeda. Maka, rasio dokter yang dibutuhkan pastinya berbeda,” ujarnya pada awam media di kantor sekretariat IDI Jatim, Kota Surabaya.
Menurutnya, dari pelaksanaan assessment tersebut akan diketahui jumlah kebutuhan dokter masing-masing daerah. Baik itu dokter umum, dokter spesialis, maupun fasilitas kesehatannya. Dengan demikian, proses pemerataan dokter bisa dilakukan.
Ketum PB IDI itu menyatakan, daerah yang sudah terpenuhi kebutuh dokternya harus membuat pemberitahuan tentang penuhnya kuota dokter di wilayah tersebut. Sehingga izin pembuatan Surat Izin Praktek (SIP) di wilayah itu tidak diterbitkan lagi.
“Pada saat itu sudah punya assessment, dokter daerah yang lebih (terpenuhi). Ayo kita dorong ke daerah lain yang masih kosong. Sehingga daerah yang penuh bisa mengatakan, untuk periode satu tahun ini daerah saya menyatakan penerbitan SIP (Surat Izin Praktek) ditutup,” tandasnya.
Namun demikian, kebijakan penutupan surat terbit SIP menurut Adib belum pernah ada. Akibatnya, banyak dokter umum dan spesialis memilih bekerja di Kota yang pendapatan ekonominya tinggi. “Itu manusiawi, mereka untuk sekolah kedokteran mengeluarkan biaya yang tidak murah. Sebagian besar biaya mandiri, artinya bukan dibiayai oleh negara,” ujar dokter Adib.
Ketum IDI itu berharap agar pemerintah segera mengambil langkah untuk memeratakan distribusi dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). “Yang mana mulai dari awal asetnya sudah dibuat dan dibutuhkan daerah. Assessment kuota dokter masing-masing daerah itu wewenang Pemda,” pungkasnya. (via)


