Sewaktu masih muda, bareng kakeknya, Gan Thwan Sing mendapat pengetahuan tentang cerita-cerita legenda China, termasuk bahasa dan aksara nenek moyangnya. Gak cuma itu, dia juga senang membaca dan mengamati buku-buku milik kakeknya yang bergambar tokoh-tokoh dari China.
Di lain sisi, Gan Thwan Sing juga bergaul dengan pemuda sebaya dan masyarakat Jawa. Bahkan, Gan ikut nonton wayang semalam suntuk yang ceritanya bikin dia senang. Waktu terus berputar dan Gan Thwan Sing pun beranjak dewasa. Kala itu, kebanyakan temannya berprofesi sebagai pedagang. Namun, dia malah menekuni seni pedalangan dan karawitan. Sikapnya yang luwes membuatnya bergaul dengan banyak seniman.
Ketertarikan Gan Thwan Sing terhadap seni pertunjukkan lebih besar dibandingkan dengan dunia perdagangan. Ia pun mengembangkan bakatnya di dunia seni pertunjukan dengan belajar seni pedalangan dan musik karawitan.
Tak lama kemudian, Gan Thwan Sing akhirnya menjadi seorang artis sandiwara dalam organisasi teater amatir yang dibentuk orang-orang Tionghoa peranakan. Dalam kesibukannya bermain sandiwara, dia masih tetap berlatih seni pedalangan gaya Yogyakarta.
Pada 1920-an, Gan Thwan Sing memunculkan sebuah gagasan untuk membuat wayang kulit model baru. Sebuah pertunjukan wayang kulit yang mengangkat cerita rakyat China, tapi tetap dengan tata cara pagelaran wayang kulit Jawa. Karya ciptaannya inilah yang kemudian disebut Wacinwa sampai sekarang.
Memasuki tahun 1925, pertunjukan Wacinwa ciptaan Gan Thwan Sing makin ngetop. Hingga tahun 1960, Wacinwa udah tersebar luas ke Surakarta, Semarang, sampai ke berbagai daerah di Jawa Timur. Perkembangannya yang pesat di berbagai daerah membuat Gan Thwan Sing harus menurunkan ilmu dalangnya kepada orang lain. Ia kemudian memiliki empat murid, yakni Raden Mas Pardon, Megarsemu, Pawiro Buwang, dan Kho Thian Sing.
Sayangnya, semua muridnya meninggal mendahului Gan Thwan Sing. Sedangkan dia meninggal pada 1966 dalam usia 81 tahun. Sebelum meninggal, Gan Thwan Sing sempat menjual sekotak Wacinwa-nya kepada Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Sementara buku lakon yang tersisa, menurut Gani Lukito, anak Gan Thwan Sing, turut dimasukan ke dalam peti mati dan dibakar bersama jenazah Gan Thwan Sing. Usai 46 tahun kematiannya, tepat pada 23 November 2012, Gan Thwan Sing mendapat penghargaan Satyalancana Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Teknis Penampilan
Untuk teknis pertunjukan Wacinwa, gak jauh berbeda dengan wayang kulit Jawa. Durasi pertunjukannya pun berkisar 6-7 jam. Penampilan Wacinwa memakai bahasa Jawa, tapi di dalamnya lebih banyak ragam ngoko, sedangkan penarasian tetap menggunakan suluk, kandha, dan carita.
Sementara itu, penyajian penampilan Wacinwa memakai cara wayang kulit Jawa. Pakemnya ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa. Peralatan hingga dekorasinya pun sama dengan wayang kulit Jawa. Bahkan musik pengiringnya juga menggunakan gamelan slendro pelog beserta gendhing dan tembang-tembang Jawa.
Baca Juga:Â Mengenal Sejarah dan Legenda di Balik Hari Valentine
Wacinwa juga memakai Gunungan, Rampogan, dan menyertakan dua abdi perempuan dalam wayang kulit Jawa yakni Limbuk dan Cangik. Sedangkan unsur China yang berbeda dengan wayang kulit Jawa adalah hewan mitologinya seperti Liong dan Kilin. Hal ini menjadi cerminan bahwa perbedaan tradisi dapat dipertemukan dalam pertunjukan seni.
Kalo cerita dalam pertunjukan Wacinwa diambil dari legenda masyarakat China pada masa pemerintahan Dinasti Tang sekitar 618-907 Masehi. Wacinwa menceritakan tentang kepahlawanan Sie Jin Kwie dari kerajaan Tong Tya. Sie Jin Kwie adalah prajurit yang jujur, setia, taat, dan rendah hati. Tokoh-tokoh Wacinwa juga terdiri dari dewa-dewi, siluman, pendeta, raja, permaisuri, bangsawan, menteri, prajurit, dayang-dayang, perampok, binatang (singa, naga, kuda) hingga gunung.
Perpaduan antara kisah dari legenda China dan tata cara pertunjukan Jawa membuat masyarakat Tionghoa peranakan pada saat itu merasa identitas budaya leluhur mereka masih bisa dilestarikan. Hal ini terlihat dalam lakon-lakon yang dibuat oleh Gan Thwan Sing, misalnya lakon Rabi Nipun Raja Thing Jing (pernikahan raja Ting Jing).
Pertunjukan Wacinwa berhasil menjadi media yang penuh kreativitas serta mendidik dalam membentuk identitas budaya Tionghoa peranakan di Indonesia.
Hanya Ada Dua Set di Dunia
Hal yang mengejutkan, kabarnya Wacinwa hanya ada dua set wayang di dunia, yakni satu set wayang menjadi koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Sedangkan yang satu lagi tersimpan di Uberlingen, Bodensee, Jerman, yang dimiliki oleh Dr. Walter Angst.
Baca Juga:Â 10 Warisan Budaya Indonesia Masuk Daftar UNESCO
Awalnya, Wacinwa tersebut adalah koleksi milik Chineesch Institut Yogyakarta. Tapi sekitar tahun 1960-an, wayang ini dibeli dari sebuah toko barang bekas oleh Dr. F. Seltmann saat berkunjung di Yogyakarta. Setelah Dr. F. Seltmann meninggal pada 1995, barulah wayang tersebut dibeli oleh Dr. Walter Angst.
Nah, yang juga menarik, Wacinwa koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta punya karakter unik dan berbeda dari wayang pada umumnya. Tingginya kreativitas Gan Thwan Sing dalam menciptakan wayang terlihat dari penggabungan dua simbol budaya dalam satu bentuk wayang. Wacinwa yang terbuat dari kulit kerbau ini, punya pernak-pernik yang sama dengan wayang purwa, tapi karakter dan bentuk wayang lebih mirip seperti wajah orang China.
Karakter tokoh wayang juga beragam, terdapat kurang lebih sekitar 200 tokoh wayang dan ratusan potongan karakter kepala yang dapat diganti sesuai dengan kehendak dalang. Selain itu, ukuran wayang juga relatif lebih kecil, yakni hanya berukuran rata-rata 70 cm.
Setelah kamu menyimak penjelasan di atas, sudah sepatutnya kita bangga akan keberagaman kebudayaan yang kita miliki. Sebuah kekayaan yang susah ditemukan di negara lain. Iya, gak?
sdnws.


