Jakarta, Nawacita – Maraknya kasus kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan yang terintegrasi dengan asrama, khususnya di pesantren sudah sangat mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, diperlukan aksi nyata melalui sinergi dan kolaborasi seluruh pihak dalam menerapkan sistem perlindungan anak yang terpadu dan pengasuhan ramah anak di satuan pendidikan berasrama tersebut, termasuk pesantren, madrasah, sekolah Katolik, sekolah Kristen, dan sekolah lainnya.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Agustina Erni mengatakan penerapan disiplin positif dalam sistem pendidikan yang sudah dilakukan di beberapa sekolah, sangatlah tepat untuk direplikasi dan dicontoh lembaga pendidikan lainnya.
Pada sistem ini, anak diberi kesempatan untuk bersuara dan didengarkan oleh pendidik atau guru. Hal ini sesuai dengan konvensi hak anak yang mengatur pentingnya memenuhi hak anak untuk berpartisipasi.
“Guru harus bisa memahami suara anak. Hadirnya guru pendamping yang memahami kondisi anak dan bisa berkomunikasi baik dengan anak, juga sangat penting di satuan pendidikan. Para guru harus memiliki kualifikasi khusus dan harus bisa memahami kondisi anak, serta memahami suara anak,” kata Erni, dalam Webinar Pengasuhan Ramah Anak di Lembaga Pendidikan Berasrama, Senin (13/12/2021).
Lebih lanjut, pemerintah saat ini telah membuat berbagai kebijakan dan regulasi sebagai bentuk komitmen dalam melindungi dan memenuhi hak anak. Mengacu pada kebijakan tersebut, perlu dibuat pedoman teknis untuk dilaksanakan dalam satuan pendidikan.
“Pedoman teknis ini sangat penting dan akan kita perbanyak. Tidak hanya Pemerintah, peran organisasi masyarakat, perguruan tinggi, media massa, dan masyarakat luas juga begitu penting. Jika kita berkolaborasi dan berjejaring hingga ke daerah maka akan menjadi kekuatan besar, dengan begitu bersama kita bisa melindungi anak-anak,” ungkap Erni.
Saat ini, Kemen PPPA sedang menyusun Pedoman Pesantren Ramah Anak, untuk kemudian disebarluaskan dan diakses masyarakat guna menghadirkan pondok pesantren yang ramah anak.
“Upaya ini harus terus dilakukan dan diharapkan menjadi langkah awal kita untuk terus berkoordinasi dan bersinergi dengan meningkatkan kompetensi masing-masing,” ujar Erni.
Erni menambahkan peran masyarakat melalui Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) juga sangat penting untuk digerakan, sehingga seluruh pihak dapat bersama-sama melindungi anak sebagai generasi penerus bangsa yang sangat berharga, sehingga anak terlindungi, Indonesia Maju.
Pada kesempatan yang sama, Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan, Rohika Kurniadi Sari menuturkan Kemen PPPA mendukung upaya pemberian hukuman dengan efek jera bagi pelaku kekerasan, melalui publikasi identitas pelaku di media massa. Hal ini merupakan wujud upaya Kemen PPPA dalam mendorong perubahan ketiga atas Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Upaya menghadirkan sistem pendidikan perlindungan terpadu dan pengasuhan ramah anak di satuan pendidikan berasrama, menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama seluruh pihak, melalui sinergi dan kolaborasi. Oleh karena itu, pentingnya keterlibatan seluruh pihak, seperti forum anak yang berperan penting dalam menyadarkan sesama anak di sekitarnya, hingga pendekatan wilayah melalui hadirnya Kota/Kabupaten Layak Anak dan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang sangat penting dalam mencegah kekerasan pada anak di daerah baik provinsi, kabupaten/ kota, hingga desa,” tutur Rohika.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan, Abdul Ghaffar Rozin atau Gus Rozin menuturkan banyaknya kasus kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan keasramaan, menjadi persoalan masa depan bangsa. Menurut Gus Rozin kekerasan terjadi karena proses pengasuhan dan pendidikan tidak diimbangi dengan pemahaman pengasuh ponpes terkait isu ramah anak.
Menindaklanjuti hal ini, pihaknya telah membuat wadah komunikasi bagi lebih dari 24 ribu pesantren di seluruh Indonesia. Dari proses tersebut, diketahui adanya kesenjangan pemahaman di antara para pendidik dan pengasuh di pesantren.
Beberapa sudah sangat paham terkait pengasuhan disiplin positif dan ramah anak, serta penanganan kekerasan, namun banyak pendidik yang belum paham.
Gus Rozin juga menyampaikan langkah menutup pesantren bukan satu-satunya solusi, melainkan lebih tepat jika mengganti pengasuh dan pendidiknya, serta adanya sistem blacklist secara nasional sebagai tanda khusus bagi predator seksual, agar mereka tidak dapat kembali beraktivitas secara sosial kegamaan dan mengulangi kejahatannya.
“Saya sepakat jika pendidik ataupun pengasuh di lembaga pendidikan anak harus memiliki kualifikasi khusus dan pemahaman tentang disiplin positif, pengasuhan ramah anak, serta kesadaran untuk menangani kekerasan seksual dan bullying,” kata Gus Rozin.
“Isu pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan keasramaan merupakan isu bersama mengingat banyaknya jumlah lembaga pendidikan keasramaan khususnya pesantren di Indonesia. Saya berharap upaya ini bukan hanya respon sesaat, tapi juga respon jangka panjang yang melibatkan semua pihak dengan pendekatan komprehensif,” tambahnya.
Penulis: Alma Fikhasari


