Thursday, December 25, 2025
HomeHukumTNI-POLRIBudayawan DIY Sampaikan Masukan Konstruktif kepada Komisi Percepatan Reformasi Polri

Budayawan DIY Sampaikan Masukan Konstruktif kepada Komisi Percepatan Reformasi Polri

Budayawan DIY Sampaikan Masukan Konstruktif kepada Komisi Percepatan Reformasi Polri

JAKARTA, Nawacita – Dalam upaya mendengarkan langsung pandangan, masukan, dan harapan masyarakat kreatif terkait arah dan percepatan reformasi kepolisian, sekaligus memperkuat sinergi antara institusi Polri dan komunitas lokal, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menggelar kegiatan serap aspirasi dari 25 (dua puluh lima) budayawan yang berasal dari Yogyakarta, Solo dan sekitarnya, di Galeri Seni Le Gareca, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mengantarkan kegiatan, tim Kelompok Kerja Komisi Percepatan Reformasi Polri Ajar Budi Kuncoro menyampaikan agar para peserta kegiatan serap aspirasi bebas berpendapat menyampaikan aspirasinya, “Teman-teman di sini bebas saja mau mengungkapkan apa saja. Selama ini kami keliling menerima masukan sejujur-jujurnya, sepedas apapun, teman-teman silahkan memberi masukan,” ujar Ajar.

Menyampaikan rekomendasi pertama, Butet Kartaredjasa menyoroti perizinan seni pertunjukan di Indonesia pasca reformasi. “Kami tidak keberatan jika kepolisian tetap mewajibkan pemberian izin, tetapi pertanyaannya adalah, apakah para taruna di Akpol (Akademi Kepolisian) dididik untuk mengevaluasi dan menganalisis produk-produk seni, baik pertunjukan maupun visual?” tanya Butet.

- Advertisement -

Lebih lanjut, budayawan senior Halim HD menyoroti peran masyarakat sipil dalam pengelolaan ruang publik untuk kesenian dan kebudayaan. “Dulu, ketika mahasiswa, saya mengurus delapan izin untuk mengadakan pertunjukan teater. Energi kami habis oleh sistem dan praktik politik perizinan.” Halim pun melanjutkan harapannya agar di masa depan pihak kepolisian mampu melindungi keberagaman.

Kemudian, Agus Noor menyoroti persepsi publik terhadap kepolisian, serta menekankan pentingnya peran humas dalam membangun citra Polri. “Humas bisa berperan penting dalam membantu kepolisian mengubah persepsi masyarakat. Namun, harus sesuai fakta sehingga citra polisi yang terbangun memang lahir dari kepercayaan publik,” ujar Agus.

Baca Juga: Dengar Masukan Publik di Daerah, Komisi Percepatan Reformasi Polri Serap Aspirasi di Sumatera Utara

Budayawan Zen Zulkarnaen dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa interaksi warga dengan kepolisian dalam keseharian kerap menimbulkan rasa enggan dan takut. “Masyarakat sebenarnya tidak bisa menghindari interaksi dengan polisi, tetapi yang terjadi justru sering muncul rasa malas atau takut, padahal seharusnya kami merasa adem ayem dan diayomi,” ujar Zen.

Zen berharap, dengan upaya-upaya perbaikan yang dilakukan Komisi Percepatan Reformasi Polri dapat mengubah  pandangan masyarakat terhadap Polri sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat.

Kemudian, Bambang Paningron, menyoroti substansi kurikulum pendidikan di Akpol yang dinilai belum sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai Tribrata. “Jika merujuk pada Tribrata, seharusnya nilai mengayomi, melindungi, dan melayani itu hidup dalam praktik, bukan sekadar slogan,” tegas Bambang.

Menyambung kegiatan, budayawan Nasirun menekankan perlunya refleksi mendalam terhadap arah reformasi Polri dengan kembali pada gagasan dasar yang bersifat filosofis. “Pertanyaannya, apakah selama ini terjadi salah penempatan sehingga fitrah itu tidak muncul, di mana polisi seharusnya mengayomi masyarakat, tetapi dalam praktik justru sebaliknya,” jelas Nasirun.

Menyoroti munculnya satir di media sosial bahwa pamor polisi kini kalah dibanding Pemadam Kebakaran (Damkar), Anang Batas menjelaskan bahwa hal ini disebabkan menurunnya kepercayaan publik. “Kondisi tersebut menjadi sinyal penting bahwa reformasi Polri perlu dilakukan secara serius dari bawah ke atas (bottom-up), agar kepercayaan dan wibawa kepolisian di mata masyarakat tidak semakin tertinggal,” ujar Anang.

Kemudian, Tri Agus Susanto mengungkapkan kegelisahannya terkait menguatnya isu-isu keterlibatan polisi di politik dalam diskusi-diskusi bersama mahasiswa saat ini. “Sebelum isu-isu tersebut mencuat, institusi kepolisian relatif berjalan sebagaimana mestinya, namun setelah itu Polri kerap dipersepsikan berubah menjadi semakin politis,” jelas Agus.

Melanjutkan rekomendasi, Fathul Wahid menyampaikan sejumlah catatan anekdot terkait kepolisian yang menurutnya perlu menjadi perhatian serius dalam agenda reformasi. “Pada akhirnya polisi berasal dari masyarakat, sehingga tidak boleh melupakan fitrahnya untuk melayani dan melindungi masyarakat,” ungkap Fathul.

Lebih lanjut, Astuti Kusumo mempertanyakan efektivitas salah satu fungsi Polri dalam memberikan perlindungan terhadap kejahatan digital yang kian marak. “Persoalan ini membutuhkan perhatian serius karena jumlah korban kejahatan digital terus bertambah dan menimbulkan keresahan di masyarakat,” ujar Astuti.

Budayawan Budi Ubrux menceritakan pengalaman pribadinya yang mengungkapkan bahwa kerap muncul persepsi bahwa berurusan dengan polisi itu rumit dan memberatkan. “Kondisi tersebut membuat masyarakat enggan berinteraksi dengan kepolisian, padahal dalam kehidupan sehari-hari interaksi dengan institusi Polri tidak dapat dihindari,” ucap Budi.

Aspirasi selanjutnya disampaikan oleh Mahdi yang menyoroti besarnya kewenangan kepolisian sejak Polri dipisahkan dari TNI yang memicu “overdosis kekuasaan”. “Hal ini dapat dilihat dalam berbagai aspek, mulai dari pengawalan investasi yang berpotensi menimbulkan kolusi, hingga tumpang tindih fungsi pertahanan menunjukkan irisan kewenangan antara polisi dan militer,” ungkap Mahdi.

Menanggapi rekomendasi dari para budayawan dan aktivis, Badrodin Haiti selaku anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri menanggapi pertanyaan terkait perizinan pertunjukan seni dengan menegaskan bahwa pada prinsipnya ia sepakat jika kepolisian cukup diberikan pemberitahuan untuk menjalankan fungsi pengamanan agar kegiatan berlangsung tertib.

“Dengan catatan, pertunjukan tersebut memiliki legalitas yang jelas. Untuk kegiatan berskala besar mungkin tetap dibutuhkan perizinan, sementara pertunjukan di dalam ruangan bisa cukup dengan pemberitahuan,” ujar Badrodin.

Melanjutkan tanggapan, Ahmad Dofiri selaku anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri menyampaikan harapannya terkait kembalinya doktrin tentang Polri. “Harapan kita bersama, keberadaan Komisi Percepatan Reformasi Polri dapat mengembalikan doktrin Polri, yang tugas utamanya pada akhirnya adalah menjadikan rakyat terlindungi, diawali dengan penataan dan penertiban di dalam tubuh Polri,” ujar Dofiri.

Dofiri menegaskan bahwa doktrin tersebut juga harus mengingatkan kembali pada makna emblem Polri sebagai abdi utama nusa dan bangsa, sehingga polisi benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. “Polri dituntut untuk melayani dan mengabdi kepada masyarakat dengan tulus, sebagai bagian dari upaya mengembalikan marwah institusi,” jelas Dofiri.

Menyampaikan tanggapannya, Mohammad Mahfud Mahmodin selaku anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri menegaskan bahwa salah satu penyakit paling berat dalam tubuh kepolisian adalah intervensi politik. Mahfud menegaskan bahwa negara didirikan untuk menjamin kemerdekaan, hak, dan kebebasan warga negara, termasuk kebebasan berekspresi, namun, pada praktiknya harus tetap dikawal oleh hukum.

“Di sinilah fungsi Polri hadir, yaitu mengayomi, melayani, dan menegakkan hukum agar hak berkreasi terjaga, sementara negara tetap selamat dan tidak menjadi kacau,” tutup Mahfud. (Humas Kemensetneg)

RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

Bank Jatim Nataru
- Advertisment -

Terbaru