Dengar Masukan Publik di Daerah, Komisi Percepatan Reformasi Polri Serap Aspirasi di Sumatera Utara
JAKARTA, Nawacita – Dalam rangka memperluas jangkauan partisipasi publik dalam proses perumusan rekomendasi kebijakan percepatan reformasi kepolisian, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menghimpun pandangan, masukan, dan evaluasi langsung dari masyarakat di daerah, salah satunya di Medan, Sumatera Utara (Sumut).
Kegiatan yang dilaksanakan di Ruang Dewan Pertimbangan Fakultas (DPF), Universitas Sumatera Utara (USU) ini melibatkan unsur akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, mahasiswa, dunia usaha, serta organisasi masyarakat sipil.
Menyambut baik audiensi, Wakil Rektor I Universitas Sumatera Utara Edy Ikhsan menyampaikan apresiasinya. “Reformasi bukan hanya agenda internal Polri, namun juga sebagai starting point untuk reformasi lainnya. Audiensi ini merupakan bentuk komitmen bersama untuk menjadikan Polri semakin unggul dan humanis,” lanjut Edy.
Audiensi dibuka oleh anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Mohammad Mahfud Mahmodin yang menjelaskan bahwa audiensi ini merupakan bagian dari tahapan penyerapan aspirasi publik. “Tugas kami adalah menyerap aspirasi masyarakat. Semua masukan akan dipertimbangkan dan dibahas dalam rapat pleno,” tegas Mahfud.
Memulai audiensi, Guru Besar Fakultas Hukum USU Alvi Syahrin menekankan pentingnya reformasi yang kembali pada mandat konstitusional. “Reformasi Polri sebaiknya kembali ke Pasal 30 ayat (4). Polisi adalah profesi, bukan sekadar pekerjaan, yang harus dijalankan dengan konsep Pancasila,” ungkap Alvi.
Baca Juga: KPRP Buka Partisipasi Publik Seluasnya, Gelar Public Hearing Reformasi Polri di Makassar
Rekomendasi lebih lanjut disampaikan oleh Tokoh Masyarakat Melayu Saidin yang menyoroti posisi Polri dalam sistem kenegaraan. “Keterlibatan Polri dalam politik mohon lebih dibatasi. Banyak persoalan sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah, bukan semata penegakan hukum,” ujar Saidin.
Masih terkait kewenangan, Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Ikhsan Lubis mengingatkan adanya potensi penyalahgunaan kewenangan. “Kami mengusulkan polisi memiliki batas struktural yang jelas dan bebas tumpang tindih. Jangan meniru sistem komando seperti tentara,” ujar Ikhsan.
Di sisi lainya, perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Fachruddin Azmi menyampaikan kekhawatiran atas menurunnya kepercayaan publik terhadap Polri. “Ada persepsi bahwa kepolisian kerap keluar dari posisi utamanya sebagai pengayom masyarakat. Reformasi harus dilihat dari UU Kepolisian dan realitas kehidupan berbangsa,” ujar Fachruddin.
Kemudian, perwakilan Orangutan Information Center M. Indra Kurnia menyoroti penanganan kejahatan lingkungan harus mendapat perhatian dan penghargaan yang setara. “Kami melihat teman-teman polisi yang mengungkap kasus penggelapan trenggiling, kenaikan pangkatnya tidak sama dengan polisi yang mengungkap narkoba, sehingga diharapkan dapat memiliki perlakuan yang sama,” ujar Indra.
Masih terkait bidang sumber daya alam, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut Rianda Purba menyoroti kriminalisasi pejuang lingkungan. “Penerapan anti-SLAPP harus dilakukan sejak dini dan pengamanan konflik agraria harus lebih berimbang,” jelas Rianda.
Dalam audiensi ini, mahasiswa juga ikut dilibatkan dalam memberikan rekomendasi. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) USU Afif Hauzaan Abid menyampaikan kritik atas respons kepolisian dalam aksi unjuk rasa. “Kewenangan Polri terlalu luas dan rawan membatasi sipil. Reformasi harus dilakukan secara sistemik dan waktunya sekarang,” tegas Afif.
Kemudian, dari dunia usaha rekomendasi datang dari anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumut Azwir Agus yang menekankan kepastian hukum bagi dunia usaha. “Transparansi penyidikan dan pencegahan pungli sangat penting agar iklim investasi terjaga,” kata Azwir.
Pandangan dari tokoh adat pun disampaikan oleh Sultan Kesultanan Serdang Sultan Achmad Thalaa Shariful Alam Shah yang menyatakan dukungan terhadap reformasi. “Polri harus netral, berintegritas, dan dibekali pengetahuan sejarah agar objektif dalam menyelesaikan konflik,” ujar Sultan Achmad.
Dari sisi tokoh agama, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sumut Surya menegaskan nilai pelayanan yang harus diterapkan oleh Polri. “Reformasi harus berjalan dengan prinsip dharma, transparansi, dan akuntabilitas,” kata Surya.
Di sisi lain, Perwakilan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Sumut Pdt. Yafet R. Marbun yang menyoroti perlindungan kebebasan beribadah. “Hak beribadah harus ditegakkan setegak-tegaknya tanpa diskriminasi,” ujar Pdt. Yafet.
Menanggapi berbagai rekomendasi yang disampaikan, anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Mohammad Mahfud Mahmodin menyatakan bahwa berbagai masukan mencerminkan persoalan publik yang serupa di berbagai daerah. “Banyak keluhan yang sama dengan yang disampaikan dengan daerah lain, artinya concern masyarakat sudah sama,” ujar Mahfud.
Lebih lanjut, anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Ahmad Dofiri menegaskan perlunya kembali pada jati diri Polri. “Padahal dalam lambang Polri itu jelas, rastra sewakottama yang berarti Polri adalah abdi utama masyarakat,” tegas Dofiri. (KHA/WAV – Humas Kemensetneg)


