Thursday, December 18, 2025
HomeMENTERIKomisi Percepatan Reformasi POLRI Berdiskusi Dengan Para Pegiat IT dan Siber

Komisi Percepatan Reformasi POLRI Berdiskusi Dengan Para Pegiat IT dan Siber

Perkuat Penegakan Hukum Siber, Komisi Percepatan Reformasi POLRI Berdiskusi Dengan Para Pegiat IT dan Siber

JAKARTA, Nawacita – Dalam rangka memperkuat arah kebijakan reformasi POLRI di bidang transformasi digital dan tata kelola keamanan siber, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) menyelenggarakan audiensi dengan koalisi masyarakat sipil yang berfokus pada sektor siber, teknologi informasi, dan pengembangan sistem digital, bertempat di Ruang Aspirasi Kementerian Sekretariat Negara.

Membuka diskusi, Jimly Asshidiqie selaku Ketua Komisi Percepatan Reformasi POLRI menyampaikan bahwa seluruh masukan akan menjadi pertimbangan penting dalam proses reformasi POLRI, termasuk pada aspek operasional dan tindak lanjut di tingkat kepemimpinan, sebagai bentuk komitmen untuk mendorong perubahan struktur, kultur, dan instrumen kepolisian.

“Kami berkomitmen mendorong reformasi POLRI secara menyeluruh, baik dari sisi struktur, kultur, maupun instrumen pendukungnya,” ujar Jimly membuka diskusi.

- Advertisement -

Perwakilan Tifa Foundation, Debora Irene Christine menyampaikan sejumlah rekomendasi terkait reformasi POLRI di bidang siber. Debora menekankan pentingnya kejelasan kewenangan POLRI, termasuk mekanisme perizinan dari pengadilan untuk mencegah potensi penyalahgunaan dalam pengawasan digital.

Baca Juga: Komisi Percepatan Reformasi Polri Gelar Audiensi Strategis dengan Berbagai Lembaga Bantuan Hukum

“Perluasan kewenangan dalam revisi UU POLRI harus disertai safeguards yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan, termasuk risiko tindakan tanpa putusan pengadilan.” pungkas Debora.

Lebih lanjut, Co-Founder Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar menyoroti kapasitas penegakan hukum POLRI, khususnya di tingkat Kepolisian Resor (Polres) dan Kepolisian Sektor (Polsek), masih belum memadai untuk menghadapi kejahatan siber yang terus berkembang.

“Kejahatan digital berkembang sangat cepat, sementara kapasitas penegakan hukum kita masih tertinggal. Diperlukan pendekatan dan kerangka regulasi yang lebih adaptif untuk menjawab tantangan ini.” jelas Raksha.

Melanjutkan diskusi, pakar ilmu komunikasi politik Prof. Henri Subiakto menjelaskan bahwa perkembangan dunia digital menghadirkan tantangan baru bagi sistem penegakan hukum, termasuk terbatasnya kedaulatan digital Indonesia yang membuat penanganan kejahatan siber sulit dilakukan secara efektif.

“Regulasi yang dibuat untuk dunia fisik tidak sepenuhnya berlaku di dunia digital. Inilah yang membuat penegakan hukum siber seringkali tidak tepat sasaran dan sulit dilakukan.” jelas Henri.

Rekomendasi lainnya disampaikan oleh pakar hukum siber (cyber law) Prof. Ahmad M. Ramli. Ahmad menyampaikan bahwa dibutuhkan peningkatan literasi dan sumber daya manusia (SDM) POLRI di bidang cybercrime, penguatan pendekatan humanis, penanganan perundungan siber terhadap anak, pemanfaatan AI (Artificial Intelligence), serta penyusunan pedoman teknis dan kerja sama internasional.

“Kejahatan berbasis AI semakin kompleks. Karena itu, regulasi, pengawasan, dan peningkatan kapasitas aparat menjadi sangat penting untuk menghadapi modus seperti deep fake, impersonation, dan penipuan berbasis AI.” lanjut Ahmad.

Menanggapi rekomendasi yang disampaikan, Jimly Asshidiqie, Ketua Komisi Percepatan Reformasi POLRI menekankan pentingnya perumusan ketentuan yang konkret dan aplikatif sebagai bagian dari rekayasa peradaban hukum dalam menghadapi tantangan teknologi digital. Pedoman teknis lintas sektor diperlukan agar POLRI dapat menjalankan perannya secara efektif.

“Kedaulatan data digital menjadi tantangan baru bagi POLRI. Dengan perkembangan digital, data Indonesia perlu dikelola secara terpadu untuk memperkuat perlindungan siber nasional.” lanjut Jimly.

Melanjutkan tanggapan, Badrodin Haiti, Anggota Komisi Percepatan Reformasi POLRI menyoroti bahwa dibutuhkan peningkatan kapasitas teknis, pemahaman regulatif, serta kemampuan investigasi digital karena menjadi kebutuhan strategis untuk memastikan POLRI dapat merespons ancaman siber secara efektif dan terukur.

“Pada level kompetensi saat ini, kemampuan penyidik POLRI dalam menangani kejahatan siber, termasuk ransomware dan bentuk kejahatan digital lainnya, masih perlu ditingkatkan. Skalanya semakin besar dan POLRI harus mampu berada pada level kompetensi yang setara dengan perkembangan teknologi global,” lanjut Badrodin.

Menanggapi permasalahan di bidang siber seperti judi online, Ahmad Dofiri, Anggota Komisi Percepatan Reformasi POLRI, menyatakan bahwa selama ini publik cenderung melihat POLRI sebagai pihak yang sepenuhnya bertanggung jawab, padahal penyelesaian masalah ini membutuhkan mekanisme lintas lembaga.

“Penanganan judi online akan jauh lebih efektif jika dilakukan melalui kerja sama lintas sektor. Selama ini masyarakat menganggap POLRI bekerja sendirian, sehingga perlu kejelasan mengenai ketentuan hukum dan mekanisme penanganannya.” ungkap Dofiri.

Menggali berbagai alternatif pendekatan hukum yang dapat memperkuat penanganan kejahatan siber di Indonesia., tim kelompok kerja Komisi Percepatan Reformasi POLRI La Ode M. Syarif menyoroti model penegakan hukum di Singapura yang menerapkan hukuman konvensional terhadap kejahatan digital dan relevansinya jika diterapkan di Indonesia.

Seluruh masukan yang disampaikan dalam forum ini menjadi bagian dari upaya komprehensif untuk memperkuat tata kelola keamanan digital serta meningkatkan kesiapan POLRI dalam menghadapi tantangan kejahatan siber. (KHA – Humas Kemensetneg)

RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Terbaru