Fraksi Nasdem Usul DBHCT Naik 5 Persen, Suwandy: Gubernur Bisa Negosiasi Ulang TKD
Surabaya, Nawacita – Fraksi NasDem DPRD Jawa Timur menilai RAPBD Jatim 2026 yang baru saja disahkan menghadapi gejala krisis struktural yang harus segera ditangani pemerintah provinsi. Penurunan pendapatan dan lemahnya struktur fiskal pada Belanja Daerah telah mempersempit ruang pembangunan serta mengancam stabilitas ekonomi daerah.
Juru Bicara Fraksi NasDem DPRD Jawa Timur, Suwandi Firdaus, SE, menegaskan bahwa proyeksi Pendapatan Daerah dalam RAPBD Jatim 2026 menunjukkan gejala krisis struktural yang harus segera direspons serius oleh Pemerintah Provinsi. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Pendapat Akhir Fraksi NasDem terhadap Raperda APBD Jatim 2026. Pendapatan Daerah tahun 2026 diproyeksikan hanya mencapai Rp 26,3 triliun.
“Angka yang tidak hanya menurun tetapi juga menggambarkan rapuhnya struktur fiskal daerah,” terang Suwandy dalam Pandangan Akhir Fraksi Partai Nasdem terhadap pengesahan APBD 2026, Sabtu 15/11/2025.
Suwandi menjelaskan bahwa 66 persen Pendapatan Asli Daerah bertumpu pada PAD, dan 76 persen PAD sangat bergantung pada pajak daerah, terutama Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan BBNKB. Struktur pendapatan seperti ini dinilai tidak sehat karena daerah menjadi terlalu mengandalkan sumber yang sifatnya fluktuatif.
Sementara itu, aset daerah, BUMD, dan kerja sama pemanfaatan aset belum mampu menjadi penopang pendapatan baru. Ia menilai kondisi ini terjadi karena aset daerah tidak dikelola sebagai instrumen ekonomi, melainkan hanya dicatat secara administratif.
Baca Juga: Pansus DPRD Pastikan Kinerja BUMD Transparan dan Akuntabel
“BUMD pun dinilai belum memiliki model bisnis produktif, dan sistem pengawasan pendapatan pajak masih rawan kebocoran akibat belum terdigitalisasi sepenuhnya,” sebutnya.
Suwandi juga menyoroti krisis Transfer ke Daerah (TKD) yang semakin memperburuk kondisi fiskal Jatim. Ia menyebut bahwa kontribusi Jatim terhadap penerimaan nasional, khususnya dari Cukai Hasil Tembakau, sangat besar yaitu mencapai 60,13 persen. Namun dana bagi hasil yang diterima kembali tidak sampai satu persen. Bahkan setelah penetapan TKD 2026, DBH Cukai Tembakau kembali dipotong hingga 48 persen.
Menurutnya, kondisi ini sangat merugikan daerah. “Karena itu, Fraksi NasDem meminta Gubernur memperjuangkan kenaikan DBHCT minimal menjadi 5 persen, sekaligus menyusun argumentasi teknis dan politik hukum yang kuat untuk menegosiasikan ulang formulasi TKD dengan pemerintah pusat,” tegas polisiti asli Mojokerto ini.
Dalam aspek pengelolaan aset daerah, Suwandi menilai BPKAD masih berperan sebagai lembaga pembukuan, bukan lembaga manajerial aset. Aset-aset daerah belum pernah direvaluasi secara komprehensif, dan potensi aset idle yang sangat besar juga belum dioptimalkan. Menurutnya, aset daerah seharusnya diperlakukan sebagai modal ekonomi yang dapat menghasilkan pendapatan, bukan sekadar daftar inventaris.
Baca Juga: Wakil Ketua DPRD Jatim Dorong Peningkatan Kualitas Pendidikan Guru NU
Pada sisi belanja daerah, RAPBD 2026 mencatat total belanja sebesar Rp 27,217 triliun, atau menurun 17,5 persen dibanding APBD-P 2025. Suwandi menilai postur ini memperlemah kapasitas pembangunan Jatim. Dominasi belanja operasi yang mencapai 75 persen menunjukkan masih mahalnya biaya pemeliharaan birokrasi dan ketergantungan yang tinggi pada belanja rutin. “Akibatnya, ruang fiskal untuk pembangunan semakin sempit dan pelayanan publik berpotensi stagnan,” imbuhnya.
Penurunan paling serius terlihat pada belanja modal yang anjlok hingga 49 persen. Menurut Suwandi, penurunan ini dapat menimbulkan dampak jangka panjang, terutama pada perbaikan infrastruktur dasar seperti jalan rusak di wilayah Tapal Kuda, Madura, dan Mataraman. Infrastruktur irigasi, pelabuhan, pasar, rumah sakit, dan sekolah berisiko tertinggal karena minimnya investasi publik. “APBD 2026 hampir kehilangan fungsi pembangunan karena belanja modal terlalu rendah,” tudingnya.
Suwandi menegaskan bahwa program-program pro rakyat harus tetap dilindungi. Ia meminta agar program beasiswa, Putri Jawara, KIP Jawara, hingga bantuan rumah tidak layak huni tidak menjadi sasaran pemangkasan anggaran. Menurutnya, efisiensi seharusnya diarahkan pada belanja birokrasi, bukan pada program yang membantu masyarakat miskin. “Kami harap pemerintah provinsi segera memperkuat strategi fiskal, menata kembali struktur pendapatan, dan memperjuangkan hak fiskal Jawa Timur secara maksimal di tingkat pusat,” pungkas anggota DPRD Jatim dua periode ini.


