Machmud Bongkar Kebocoran Pajak Restoran di Surabaya: “Ini Tidak Masuk Akal!”
Surabaya, Nawacita – Anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya, Mochammad Machmud, menyoroti mekanisme penagihan pajak daerah, khususnya pajak restoran dan hotel, yang dinilainya tidak efisien.
Menurutnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya seharusnya tidak perlu melakukan penagihan aktif karena pajak tersebut sudah otomatis dibayarkan oleh konsumen.
Machmud menjelaskan, pajak restoran dan hotel dibebankan kepada pelanggan, bukan kepada pemilik usaha.
Baca Juga : Mi Gacoan Kembali Mangkir dari Hearing DPRD Surabaya, Komisi B Geram
“Kalau kita makan di restoran senilai Rp1 juta, kita bayar Rp1,1 juta. Seratus ribu itu uang saya untuk bayar pajak, saya titipkan ke pengusaha restoran. Pengusaha itu wajib menyetor pajaknya ke Pemkot, bukan malah harus ditagih,” ujarnya, Selasa (21/10/2025).
Namun, ia menilai dalam praktiknya Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) masih melakukan penagihan terhadap para pengusaha. Hal itu, menurut Machmud, menunjukkan masih rendahnya kesadaran pelaku usaha untuk menyetor pajak daerah.
“Faktanya, sampai hari ini Bapenda masih menagih pajak restoran. Ini tidak boleh terjadi,” tegasnya.
Baca Juga : Komisi B DPRD Surabaya Tindaklanjuti Aduan SCWI Soal Sengketa Surat Ijo dan IPT
Machmud juga menyinggung langkah Pemkot yang memasang CCTV di area parkir restoran untuk memantau jumlah pengunjung sebagai upaya menekan kebocoran pajak. Ia menilai hal itu menunjukkan kurangnya kepercayaan terhadap pengusaha.
“Itu artinya pengusaha restoran tidak bisa dipercaya, sampai Pemkot harus pasang CCTV di parkiran untuk menghitung jumlah tamu,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrat itu mencontohkan banyak restoran di Surabaya yang selalu ramai pengunjung, tetapi setoran pajaknya sangat kecil.
“Saya pernah hitung, kalau omzetnya dibagi rata tiap bulan, jumlah yang dilaporkan hanya setara lima piring makanan. Padahal tempatnya penuh setiap hari. Ini jelas tidak masuk akal,” ungkapnya.
Machmud menyebut, uang pajak yang dititipkan konsumen kepada pengusaha namun tidak disetorkan ke kas daerah dapat dikategorikan sebagai penggelapan.
“Bagi pengusaha yang menahan uang pelanggan untuk pajak dan tidak menyetorkan ke Pemkot, itu bisa dilaporkan ke polisi karena termasuk penggelapan pajak,” katanya.
Ia menambahkan, tahun depan Pemkot Surabaya harus lebih tegas menertibkan pengusaha yang tidak patuh pajak. “Kesadaran membayar pajak harus datang dari pengusaha sendiri. Jangan sampai Pemkot seperti minta-minta,” tegasnya.
Berdasarkan data Pemkot Surabaya, jumlah restoran yang tercatat sebanyak 4.134 unit. Namun, menurut Machmud, angka tersebut belum mencerminkan jumlah sebenarnya karena masih banyak restoran yang belum terdaftar atau tidak membayar pajak dengan semestinya.
“Dari ribuan restoran itu, masih banyak yang belum tertagih pajaknya. Kebocoran masih tinggi, padahal Pemkot sangat membutuhkan pemasukan untuk pembangunan kota,” ujarnya.
Untuk pajak restoran, target tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp736 miliar, dan hingga September realisasinya baru mencapai Rp535 miliar atau sekitar 73 persen.
Selain itu, Machmud juga menyinggung penertiban Pasar Tanjung Sari oleh Satpol PP dan Dinas Cipta Karya. Ia mendesak agar langkah penegakan aturan dilakukan tanpa menunggu waktu habis.
“Pasar Tanjung Sari itu sudah jelas melanggar. Harusnya langsung disegel, jangan menunggu detik-detik akhir. Kalau nanti pindah dan tetap melanggar, ya segel lagi. Ini bukan membunuh usaha, tapi menegakkan aturan,” tegasnya.
Machmud mengingatkan bahwa masa tugas sementara (DT) tinggal satu minggu lagi, sehingga Pemkot perlu segera mengeksekusi tindakan di lapangan.
“Begitu menerima instruksi, seharusnya langsung action, bukan menunda-nunda. Kalau terlalu lama, wajar muncul pertanyaan, ada apa sebenarnya,” pungkasnya.


