Sebuah Catatan Epistemik tentang Media, Nalar, dan Kesombongan Dunia
Nawacita – Dalam kesempatan yang sarat makna, Bendahara PW NU Kalimantan Barat, Dirman, menegaskan dengan jernih: Hari ini, publik bukan sedang menonton berita — melainkan sedang menyaksikan bagaimana nalar media dirampok oleh kesombongan intelektual.
Sebuah tayangan di Trans7 — stasiun yang katanya “mainstream” — justru memperlihatkan betapa dangkalnya logika mereka dalam membaca kesalehan. Tayangan itu menyorot sowan para santri kepada KH. Anwar Mansur, ulama sepuh nan berilmu dari Pondok Pesantren Lirboyo. Tapi apa yang mereka sajikan? Bukan penghormatan, melainkan penghinaan yang dibungkus dengan candaan picik.
> “Ternyata yang ngesot itulah yang ngasih amplop.
> “Enak kiainya: sarung mahal, mobil mewah, santrinya yang bayar.”
> “Netizen pun curiga: mungkin inilah sebab kiai makin kaya.”
Kalimat-kalimat itu bukan jurnalisme. Itu agitasi rendahan, atau dalam bahasa Al-Ghazali: “zhalim bil-lisan” — kezaliman melalui lidah dan tulisan.
Bukan informasi, tapi provokasi.
Bukan analisis, tapi fitnah yang dikemas modern.
—
Kejahatan Pikiran dan Kesombongan Rasionalitas..
Ini bukan lagi kesalahan redaksi. Ini kejahatan epistemik — kejahatan terhadap pikiran dan nilai.
Mereka menyerang bukan karena benci terhadap santri, tapi karena takut terhadap nalar bebas yang tak bisa dibeli oleh kapitalisme media.
Dalam Islam, akhlak adalah inti ilmu. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Innamā bu’itstu li utammima makārimal akhlāq”
> (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).
Tapi Trans7 gagal membaca makna adab.
Mereka mengira sujud itu penindasan, sowan itu perbudakan, dan amplop itu transaksi.
Padahal, bagi kaum santri, memberi kepada guru adalah amal jariyah, bukan investasi sosial.
—
Ketika Kapitalisme Menyerang Adab..
Mari kita jujur: pesantren hari ini adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang belum sepenuhnya tunduk kepada oligarki ekonomi.
Tidak menjual ijazah, tidak menjual nama besar, tidak mencetak robot karieris.
Mereka mencetak manusia beradab. Dan karena itu, mereka menjadi musuh paling berbahaya bagi logika industri media yang hanya mengerti rating, bukan makna.
Apakah ini kebetulan?
Tentu tidak. Trans7 adalah bagian dari CT Corp, milik Chairul Tanjung, dikelola oleh Transmedia di bawah Atiek Nur Wahyuni. Dua nama besar yang mungkin lihai dalam corporate finance, tapi gagal paham tentang keagungan spiritualitas pesantren.
Mereka berbicara tentang dunia yang tidak mereka pahami — dan karena itulah, yang lahir hanyalah sinisme berbiaya tinggi.
—
Adab Bukan Feodalisme, Santri Bukan Budak..
Sowan itu bukan tunduk.
Itu ta’dhim — penghormatan.
Santri yang datang membawa amplop bukan sedang membayar hutang, tapi mengalirkan rasa syukur.
Karena mereka tahu, “man lam yasyrak syukra li al-makhluq lam yasyrak syukra lillāh” — siapa yang tidak berterima kasih pada manusia, tidak pula bersyukur kepada Allah.
Dan lucunya, yang hari ini menertawakan santri memberi amplop kepada kiai, tidak pernah menertawakan mahasiswa membayar jutaan rupiah untuk toga dan wisuda.
Yang satu disebut “adab kolot”, yang lain disebut “biaya pendidikan”.
Ironi modernitas yang menertawakan dirinya sendiri.
—
Nalar yang Hilang dan Logika yang Dipelintir…
Inilah paradoks zaman:
Yang ikhlas dianggap bodoh, yang tulus dianggap feodal.
Yang beradab dicaci, yang sinis dipuji.
Kata Nietzsche, “Ketika kebenaran tidak lagi dicintai, yang tumbuh adalah seni berdusta dengan indah.”
Dan Trans7 telah menjadi seniman dalam hal itu.
Mereka menyajikan dusta yang tampak elegan, tapi busuk dalam makna.
—
Seruan untuk Bertobat: Bukan karena Neraka, Tapi karena Akal…
Wahai pengelola media,
Jika kalian tidak paham nilai yang kalian komentari, diam itu jauh lebih mulia daripada bicara yang menyesatkan.
Ingat firman Allah:
> *“Mā yalfidhu min qawlin illā ladaihi raqībun ‘atīd”*
> (Tidak satu ucapan pun terucap, melainkan ada malaikat pengawas yang mencatatnya). — QS Qaf: 18
Dan kelak, yang akan memandikan jenazah kalian bukan presenter glamor, bukan produser yang pandai memotong adegan.
Tapi santri.
Yang kalian hina hari ini, namun diam-diam mempersiapkan diri untuk **mengurus jasad kalian saat dunia tak lagi peduli.**
Taubatlah.
Bukan karena takut neraka, tapi karena kalian sudah kehilangan **akal sehat** — modal paling suci dalam Islam.
Seperti kata Imam Syafi’i:
> *“Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada hati yang gelap.”*
Maka bersihkanlah hati kalian sebelum kalian bicara tentang pesantren.
Karena pesantren bukan tempat untuk ditertawakan.
Ia adalah benteng terakhir akal sehat bangsa ini.
—
**By: @Sudirman Bendahara Umum NU Kalbar
*(Sebuah perlawanan elegan terhadap kejahatan pikiran di layar kaca)*


