Tuesday, December 23, 2025
HomeSTARTUPLifeStyleSanae Takaichi Segera Jadi Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang, Berikut Profil serta...

Sanae Takaichi Segera Jadi Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang, Berikut Profil serta Latar Belakangnya

Sanae Takaichi Segera Jadi Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang, Berikut Profil serta Latar Belakangnya

JAKARTA, Nawacita – Sanae Takaichi Segera Jadi Perdana Menteri Perempuan Pertama, Jepang bersiap menyambut babak baru dalam sejarah politiknya dengan terpilihnya Sanae Takaichi sebagai pemimpin baru Partai Demokrat Liberal (LDP). Jika disahkan parlemen, perempuan berusia 64 tahun itu akan menjadi perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah Jepang.

Takaichi dikenal sebagai politikus konservatif garis keras dengan pandangan nasionalis yang tegas. Dalam pemilihan ketua LDP pada Sabtu (4/10/2025), ia mengalahkan dua pesaing utamanya, yakni Shinjiro Koizumi, politisi muda berusia 44 tahun yang dikenal membawa semangat perubahan generasi, serta Yoshimasa Hayashi, sosok senior yang berpengalaman namun kurang karisma.

Kemenangan Takaichi hampir pasti mengantarkannya ke kursi perdana menteri, mengingat LDP menguasai mayoritas kursi di parlemen. Ia akan menjadi pemimpin kelima Jepang dalam lima tahun terakhir, mencerminkan ketidakstabilan politik yang melanda partai penguasa di tengah tekanan publik terhadap inflasi dan skandal dana politik yang mengguncang pemerintahan.

- Advertisement -

Adapun LDP kehilangan banyak simpati publik dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, partai nasionalis baru berhaluan anti-imigrasi, Sanseito, justru menunjukkan tren kenaikan dukungan. Untuk merebut kembali basis pemilihnya, Takaichi mengusung pendekatan keras terhadap isu imigrasi dan pariwisata asing, dua topik yang menjadi sorotan selama masa kampanye.

Sebagai mantan menteri keamanan ekonomi, ia dikenal lantang mengkritik China atas ekspansi militer dan pengaruh ekonominya di kawasan Asia-Pasifik. Ia juga kerap mengunjungi Kuil Yasukuni, situs kontroversial yang menghormati para tentara Jepang termasuk penjahat perang, dan dianggap oleh negara-negara tetangga sebagai simbol masa lalu militerisme Jepang.

Namun dalam kampanye kali ini, Takaichi tampak melunakkan sikapnya. Jika pada pemilihan LDP tahun lalu ia secara terbuka berjanji akan mengunjungi Yasukuni sebagai perdana menteri, janji yang berujung pada kekalahannya dari Shigeru Ishiba, kali ini ia lebih berhati-hati dan menahan retorika kerasnya.

Iron Lady 2.0

Di masa mudanya, Takaichi sempat menjadi pemain drum di band heavy metal kampus, namun kini ia kerap dibandingkan dengan tokoh idolanya, mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Julukan “Iron Lady 2.0” pun mulai melekat padanya.

Meski langkahnya dianggap kemajuan bagi representasi perempuan dalam politik Jepang, banyak pengamat menilai Takaichi bukan pembawa agenda kesetaraan gender.

“Walaupun terpilihnya dia merupakan langkah maju bagi partisipasi perempuan dalam politik, dia tidak menunjukkan keinginan kuat untuk menantang norma-norma patriarkal,” ujar Sadafumi Kawato, profesor emeritus Universitas Tokyo, dilansir AFP.

Takaichi termasuk dalam sayap kanan LDP yang menentang reformasi hukum pernikahan era abad ke-19 yang mewajibkan pasangan suami istri berbagi nama keluarga. Aturan ini secara praktik membuat sebagian besar perempuan harus menggunakan nama suaminya setelah menikah.

“Isu itu kemungkinan tidak akan terselesaikan selama masa jabatannya,” kata dia. Meski demikian, dalam pidato kampanyenya, Takaichi berjanji akan meningkatkan proporsi perempuan dalam kabinet hingga mencapai “tingkat negara-negara Nordik.” Komitmen itu muncul di tengah sorotan global terhadap kesenjangan gender di Jepang, yang menempati peringkat ke-118 dari 148 negara dalam Laporan Kesenjangan Gender Dunia 2025 versi World Economic Forum.

Baca Juga: PM Jepang Shigeru Ishiba Mengundurkan Diri, Ini Alasannya

Kemenangan Takaichi juga mempertegas keberlanjutan pengaruh mendiang mantan perdana menteri Shinzo Abe, yang dikenal sebagai mentor politiknya. Ia mendapat dukungan kuat dari faksi konservatif LDP dan para pengikut garis keras Abe.

Dalam kebijakan ekonomi, Takaichi berjanji melanjutkan kebijakan pelonggaran moneter agresif dan belanja fiskal besar-besaran – cerminan dari semangat “Abenomics” yang sempat menjadi fondasi ekonomi Jepang di era Abe.

Sanae Takaichi Segera Jadi Perdana Menteri Perempuan
Sanae Takaichi Segera Jadi Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang, Berikut Profil serta Latar Belakangnya.

Namun, kebijakan semacam itu, menurut sejumlah ekonom, dapat memicu gejolak di pasar keuangan yang tengah berupaya menstabilkan inflasi.

Selain isu ekonomi, Takaichi juga menyoroti kejahatan dan pengaruh ekonomi asing di Jepang. Ia menyerukan penerapan aturan yang lebih ketat, langkah yang dinilai para analis sebagai strategi untuk menarik kembali pemilih yang berpindah ke partai nasionalis berhaluan keras.

Mengenai hubungan dagang dengan Amerika Serikat, Takaichi menyatakan tidak akan segan menuntut renegosiasi tarif bila perjanjian berjalan dengan cara yang merugikan kepentingan Jepang.

“Saya tidak akan ragu mendorong pembicaraan ulang dengan AS jika kesepakatan dianggap merugikan atau tidak adil bagi Jepang,” ujarnya dalam sebuah diskusi panel bulan ini.

Latar Belakang dan Pendidikan

Sanae Takaichi lahir pada 7 Maret 1961 di Prefektur Nara, Jepang, dengan nama lahir Sanae Yamamoto. Ia lulus dari Universitas Seijo sebelum melanjutkan studi di Institut Pemerintahan dan Manajemen Matsushita, sebuah lembaga bergengsi yang dikenal melahirkan banyak pemimpin politik Jepang.

Sebelum terjun ke dunia politik, Takaichi bekerja di Amerika Serikat selama beberapa tahun, pengalaman yang membentuk pandangannya tentang kebijakan luar negeri dan ekonomi global.

Ia memasuki politik pada 1993, terpilih sebagai anggota DPR (House of Representatives) mewakili distrik Nara 2 untuk pertama kalinya. Sejak itu, Takaichi telah terpilih sebanyak 10 kali, menjadikannya salah satu politisi senior LDP.

Kehidupan pribadinya juga menarik perhatian karena ia pernah menjalin hubungan asmara dengan Toshiyuki Takaichi, seorang pengusaha, pada tahun 1990-an.

Pada tahun 2004, ia kemudian menikahi Taku Yamamoto yang merupakan sesama anggota dewan di Jepang hingga pada akhirnya pernikahan mereka kandas pada 2017 melalui perceraian karena perbedaan pandangan politik. Menariknya pada 2021, Takaichi dikabarkan telah rujuk kembali dengan Taku.

Pandangan Ideologis

Sebagai nasionalis konservatif, Takaichi dikenal dengan pandangan revisionis terhadap sejarah Perang Dunia II. Ia pernah mengunjungi Kuil Yasukuni pada 2007, sebuah tindakan yang memicu kemarahan dari Korea Selatan dan China.

Ia menentang reformasi sosial seperti pernikahan sesama jenis dan mendukung suksesi kaisar hanya untuk laki-laki. Di bidang keamanan, Takaichi adalah “burung hantu” yang mendorong penguatan militer Jepang, termasuk revisi Pasal 9 Konstitusi untuk mengakui Pasukan Bela Diri sebagai “tentara nasional”.

Ia juga pernah berjanji untuk memberikan stimulus fiskal guna melawan inflasi dan meninjau kebijakan perdagangan dengan AS di bawah Donald Trump. Meski demikian, pandangannya yang anti-China dan fokus pada imigrasi telah membuatnya dikritik sebagai “disruptif” oleh investor dan tetangga regional.

Sebagai pemimpin minoritas, Takaichi harus berkoalisi dengan oposisi yang terpecah untuk bertahan. Isu utama termasuk inflasi, ketegangan Asia-Pasifik (terutama Taiwan dan Laut China Selatan), dan pemulihan LDP pasca terjadinya sejumlah skandal yang menimpa partai.

Meski mewakili kemajuan gender, banyak pemilih perempuan melihatnya bukan sebagai advokat kemajuan sosial, melainkan simbol konservatisme. Namun, bagi pendukungnya, Takaichi adalah harapan perubahan tegas. “Saya tidak merasa gembira sekarang; tantangan sebenarnya ada di depan,” katanya usai menang.

trbcnbnws.

RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Terbaru