Monday, December 22, 2025
HomeDAERAHJATIMJurnalisme Berperspektif Gender Dianggap Gagal: Bias Masih Dominan di Berita Kriminal dan...

Jurnalisme Berperspektif Gender Dianggap Gagal: Bias Masih Dominan di Berita Kriminal dan Selebritas

Jurnalisme Berperspektif Gender Dianggap Gagal: Bias Masih Dominan di Berita Kriminal dan Selebritas

Surabaya, Nawacita.co – Masih banyaknya berita yang ditulis dengan cara vulgar, bias, hingga menyudutkan kelompok tertentu menjadi perhatian serius bagi pelaku media.

Salah satu penyebabnya, menurut Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Jatim, Tri Ambarwati, bahwa kampanye jurnalisme berperspektif gender selama ini cenderung hanya menyasar jurnalis perempuan, sementara jurnalis laki-laki justru jarang mendapat pelatihan serupa.

“Sebagai produser, saya sering kali menerima naskah dari kontributor di daerah. Banyak di antaranya masih terlalu vulgar, misalnya dalam kasus mutilasi yang ditulis sangat detail. Padahal media audiovisual tidak mungkin menayangkan hal itu, karena bertentangan dengan kode etik jurnalistik maupun standar penyiaran,” ujarnya.

- Advertisement -

Ia mencontohkan, detail seperti “130 potongan yang tercabik-cabik” sebenarnya tidak perlu dinarasikan. Cukup disebutkan bahwa korban mengalami mutilasi.

Baca Juga: Kritik Keras AJI Surabaya: Media Sering Menuruti Prasangka Publik dan Perkuat Bias Diskriminasi

“Sayangnya, banyak reporter di lapangan belum terpapar pelatihan berperspektif gender, sehingga berita yang ditulis sering kali justru menambah luka korban atau keluarga,” tandas Ambar.

Hal serupa juga terjadi pada kasus-kasus populer, seperti pemberitaan tentang Vanessa Angel beberapa tahun lalu. Menurutnya, banyak naskah kontributor kala itu ditulis dengan bahasa yang tega dan vulgar.

“Untungnya, sebagai editor saya bisa memperhalus. Saya tidak akan menayangkan narasi yang menambah sensasi dan memperburuk citra korban,” tegas Ambar.

Selain itu Ambar juga mengingat momen ketika penggunaan istilah seperti “janda cantik menjadi korban” juga dikritisinya. Labelisasi seperti itu tidak hanya tidak relevan, tetapi juga bisa melanggengkan bias.

Baca Juga: Mahasiswa Magister UGM Ajak Pemuda Desa jadi Agen Ketahanan Sosial Lewat Jurnalisme Warga

“Memang semua orang senang disebut cantik, tapi kalau diposisikan dalam konteks korban, justru memunculkan konotasi negatif, seakan-akan karena cantik, korban pantas diperlakukan berbeda,” jelasnya.

Meski kampanye jurnalisme berperspektif gender sudah berjalan lama, praktik di lapangan masih jauh dari harapan. Mulai dari cara menulis berita kriminal, pemberitaan selebritas, hingga kebijakan penugasan reporter masih kerap mengandung bias.

Oleh karena itu, Ambar menekankan pentingnya pelatihan menyeluruh yang melibatkan seluruh jurnalis, baik laki-laki maupun perempuan.

“Selama mindset pimpinan redaksi belum tercerahkan, praktik bias gender di media akan terus berulang. Perlu perubahan mendasar, tidak hanya di level reporter, tapi juga di manajemen redaksi,” pungkasnya.

Reporter: Alus

RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Terbaru