DPRD Surabaya Desak Evaluasi Penyitaan Buku oleh Polisi
Surabaya, Nawacita.co – Langkah kepolisian yang menyita sejumlah buku dari para tersangka kerusuhan yang terjadi pada akhir Agustus lalu memicu kekhawatiran di kalangan pegiat literasi dan dunia pendidikan. Sejumlah sekolah pun mulai menyingkirkan buku-buku yang dianggap “radikal” atau berhaluan kiri dari perpustakaan mereka, demi mencegah akses siswa terhadap bacaan tersebut.
Menanggapi situasi ini, Anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya, H. Johari Mustawan, S.TP, M.ARS, menyatakan bahwa penyitaan buku semestinya tidak dilakukan secara tergesa-gesa tanpa melalui kajian yang matang. Menurut legislator dari Fraksi PKS tersebut, keberadaan buku adalah bagian dari kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.
“Buku-buku ini merupakan bagian dari kebebasan berpikir dan berpendapat. Jika hendak disita, harus ada kajian terlebih dahulu apakah memang benar berkaitan dengan tindakan kerusuhan,” tegas Johari dalam keterangannya.
Baca Juga : Komisi D DPRD Surabaya Dorong Kebijakan Ramah Ibu Menyusui
Ia menilai, jika aparat penegak hukum beralasan bahwa penyitaan dilakukan sebagai bagian dari proses pembuktian kasus, maka harus ada korelasi yang jelas dan kuat antara isi buku dengan tindakan para tersangka.
“Selama ini, penyitaan cenderung dilakukan hanya sebagai bentuk tindakan preventif, tanpa ada studi yang mendalam terhadap isi dan konteks buku tersebut,” ujarnya.
Johari, yang juga akrab disapa Ustadz Johari, menegaskan bahwa langkah semacam itu justru bisa mengarah pada pembatasan ruang berpikir masyarakat.
Baca Juga : Komisi D Percepat Peningkatan Jalan Pakis Menuju Turen Kabupaten Malang
“Yang seharusnya dijaga adalah transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum. Menyita buku tanpa alasan yang jelas sama saja dengan membatasi kebebasan berpikir,” tambahnya.
Beberapa buku yang disebut-sebut disita oleh pihak kepolisian Polda Jawa Timur antara lain karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Franz Magnis Suseno, Tan Malaka, serta sejumlah buku sejarah yang memuat narasi awal pembentukan negara Indonesia.
Johari menilai, tidak semua buku yang dianggap “kiri” berdampak buruk bagi pembacanya. Sebaliknya, banyak anak muda dan pelajar justru membaca buku-buku tersebut untuk memahami sejarah dan dinamika bangsa secara lebih utuh.
“Yang lebih penting adalah bagaimana kita membekali masyarakat dengan nilai-nilai Pancasila. Jika karakter kebangsaan sudah terbentuk, maka masyarakat akan mampu menyaring sendiri informasi dari buku-buku tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa penyitaan buku secara sepihak dapat memberikan efek domino terhadap minat baca masyarakat. Di tengah upaya pemerintah meningkatkan budaya literasi, langkah seperti ini justru bisa memperparah rendahnya tingkat literasi nasional.
“Kita sedang berjuang membangun budaya membaca. Tapi kalau buku-buku justru disita tanpa kajian, itu kontraproduktif. Harus ada regulasi dan pedoman yang jelas,” pungkasnya.


