Jakarta, Nawacita.co – Sidang kedua gugatan soal dugaan perbuatan melawan hukum terhadap Jaksa Agung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jaksel, Senin (8/9/2025).
Majelis hakim yang memeriksa perkara dengan register nomor 847/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL, itu diketuai I Ketut Darpawan, yang juga mengadili perkara permohonan Peninjauan Kembali (PK) terpidana Silferster Matutina.
Silfester Matutina yang juga ketua Solidaritas Merah Putih (Solmet) terjerat perkara fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Perkaranya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkrah) sejak 2019, namun Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sampai sekarang tidak juga mengeksekusi.
Berdasarkan penelusuran di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) perkara Silferster sudah diputus majelis hakim agung Mahkamah Agung Nomor: 287 K/Pid/2019 tanggal 20 Mei 2019 dan sudah inkrah dengan vonis 1,6 tahun penjara.
Sebelumnya juga sudah diputus majelis hakim banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 297/Pid/2018/PT.DKI tanggal 28 Oktober 2018 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 100/PID.B/2018/PN.Jkt.Sel tanggal 30 Juli 2018 yang memberi putusan terhadap relawan Jokowi 1 tahun penjara.
Diketahui, sidang perdana telah digelar pada Rabu (28/8/2025), namun ditunda karena hanya dihadiri tergugat 1 Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, tergugat 2 Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Hakim Pengawas pada PN Jaksel. Sedangkan Kejaksaan Agung tidak hadir karena mengaku belum terima relass panggilan sidang.
Ironisnya saat sidang kedua, Jaksa Agung Kembali mangkir. Sesaat sidang dibuka, seseorang yang tidak dikenal duduk di kursi tergugat 1 mengaku mewakili Jaksa Agung.
Baca Juga: Digugat Advokat Asal Jember 4 Rupiah, Jaksa Agung Mangkir
Namun saat I Ketut Darpawan meminta menunjukkan surat kuasa dari Jaksa Agung, dia tidak dapat menunjukkan.
“Mana surat kuasa dari Kejaksaan Agung,” tanya hakim, dan orang tersebut ternyata tidak membawa apa-apa.
“Kami belum mendapat surat kuasa dari Kejaksaan Agung,” ungkapnya.
Sontak hakim ketua melanjutkan pertanyaannya. “Saudara hadir di sini apa dasarnya,” tanya hakim lagi.
“Kami datang di pengadilan berdasarkan perintah lisan,” jawabnya.
Karena Kejaksaan Agung masih belum datang, walaupun sudah dipanggil secara patut, majelis masih memberi toleransi akan memanggil sekali lagi.
“Minggu depan akan dipanggil sekali lagi, untuk ketiga kalinya. Kalau masih tidak datang, maka sidang akan dilanjutnya tanpa kehadiran tergugat 1. Kejaksaan Agung dianggap tidak menggunakan haknya,” tegasnya.
Gugatan yang diajukan Mohammad Husni Thamrin, warga kabupaten Jember, Jawa Timur melalui kuasa hukumnya D. Heru Nugroho dari Firma Hukum Dhen & Partners Yogyakarta mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam surat gugatannya Thamrin mengaku hak konstitusionalnya sebagai warga negara dirugikan.
“Tidak dilakukannya eksekusi terhadap terdakwa yang sudah inkrah mengakibatkan tidak ada kepastian hukum, bukan hanya secara pribadi, tapi juga merugikan seluruh rakyat Indonesia, karena dapat menghancurkan sendi-sendi Indonesia sebagai negara hukum,” terangnya.
Thamrin sebagai penggugat dalam perkara itu diketahui berprofesi sebagai advokat dan aktifis di Jember.
Thamrin meminta agar empat tergugat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dan dihukum untuk membayar kerugian sebesar 4 rupiah serta dihukum untuk segera melakukan eksekusi.
“Tidak dieksekusinya Silferster Matutina membuktikan bahwa penegakan hukum tebang pilih, ini menjadi preseden buruk bagi negara yang dalam konstitusinya menyebutkan sebagai negara hukum,” tegasnya.
Diketahui Siilferster Matutina saat ini dikabarkan sedang mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) atas putusan pengadilan yang sudah inkrah.
Ditegaskan Heru Nugroho, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 268 angka (1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
Pasal 66 angka (2) UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan, “Permohonan peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan”. Dengan demikian maka tidak ada alasan bagi Kejaksaan untuk melakukan penundaan eksekusi terhadap terdakwah yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap.
Tidak hadirnya Jaksa Agung, walaupun sudah dipanggil secara patut sebanyak dua kali, menunjukkan kejaksaan tidak patuh terhadap proses hukum.
“Kalau kejaksaan sudah mengabaikan panggilan pengadilan, menunjukan lembaga hukum itu tidak menghormati pengadilan. Sehingga tidak heran, kalau terhadap putusan pengadilan yang inkrah pun diabaikan,” jelas Heru.
Reporter : Mujianto