Tuesday, December 23, 2025
HomeDAERAHJATIMIan Wilson: Kepala Daerah Takut pada Pusat, Bukan kepada Rakyatnya

Ian Wilson: Kepala Daerah Takut pada Pusat, Bukan kepada Rakyatnya

Ian Wilson: Kepala Daerah Takut pada Pusat, Bukan kepada Rakyatnya

Surabaya, Nawacita.co – Wacana pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo untuk menarik kembali kewenangan daerah alias re-sentralisasi menuai sorotan tajam dari sejumlah kalangan.

Salah satunya oleh Pengamat Politik Indonesia asal Murdoch University, Australia, Ian Wilson, menyampaikan langkah ini dinilai sebagai kebijakan berlawanan arah (reverse process) dari semangat reformasi pasca-Orde Baru, yang telah melahirkan otonomi daerah, desentralisasi fiskal, dan demokrasi lokal.

Ia berpendapat selama lebih dari dua dekade, pemerintah daerah terbiasa hidup dari transfer dana pusat. Jika kebijakan itu tiba-tiba dihentikan atau dipangkas drastis, maka pilihan yang tersisa hanya dua.

- Advertisement -

“Dua itu adalah mengurangi pelayanan publik, termasuk layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan dan menaikkan pajak lokal, yang nyaris mustahil dilakukan tanpa gejolak sosial,” ungkapnya (22/8/2025).

Pengamat asal Australia ini memandang kondisi ini membuat pemerintah daerah seolah terjebak keadaan. Mereka tidak memiliki sumber daya fiskal mandiri yang cukup untuk menopang pelayanan publik.

Baca Juga: FKPT Jatim Gelar Rembuk Merah Putih Lawan Radikalisme

Ian mengatakan pemangkasan anggaran daerah dikhawatirkan langsung berdampak pada masyarakat. Layanan kesehatan, pendidikan, hingga program perlindungan sosial bisa terganggu.

“Kalau itu dikurangi, dampaknya akan dirasakan seluruh lapisan masyarakat,” ujar Ian.

Lebih parah lagi, situasi ekonomi nasional tengah rapuh. Angka pengangguran meningkat, daya beli menurun, dan banyak rumah tangga kehilangan kestabilan pendapatan.

“Masyarakat tidak belanja karena tidak punya pekerjaan stabil. Itu akan menciptakan efek domino di pasar,” tambahnya.

Dengan model baru, posisi gubernur hanya dipandang sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Konsekuensinya, kepala daerah tidak lagi merasa mewakili konstituen di daerah, melainkan sekadar menunjukkan loyalitas ke pusat demi mendapatkan anggaran.

“Ini bukan lagi representasi demokrasi, tapi representasi loyalitas. Kepala daerah takut pada pusat, bukan kepada rakyatnya,” jelas Ian lagi.

Baca Juga: Emil Dardak Sebut Generasi Muda Jatim Luar Biasa, Perayaan Kemerdekaan di Grahadi Penuh Makna

Kondisi ini bisa melahirkan budaya politik transaksional baru, di mana loyalitas kepada presiden lebih penting daripada akuntabilitas kepada publik.

Namun, para pengamat memperingatkan bahwa kebijakan ini sedang dilakukan di momentum yang salah: ketika ekonomi nasional belum stabil.

“Memaksa re-sentralisasi di tengah kondisi rentan justru berpotensi merusak pelayanan publik dan menimbulkan kerusakan sosial-ekonomi lebih dalam,” tegas analis tersebut.

Ian berpendapat, jika tren ini berlanjut tanpa mekanisme pengaman, skenario terburuk yang bisa terjadi adalah kolapsnya layanan dasar, terutama di daerah terpencil. Program kesehatan subsidi, sekolah negeri, hingga bantuan sosial bisa terhenti.

“Itu skenario yang paling menakutkan,” tutup narasumber.

Reporter: Alus

RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Terbaru