Pengamat Tata Kota Soroti Rencana Pemkot Bandung Bangun 25 Halte Tematik, Jangan Sampai Hanya Indah Dipandang
BANDUNG, Nawacita – Pengamat Tata Kota Institut Teknologi Bandung, Frans Ari Prasetyo menyoroti rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang bakal membangun 25 halte tematik sebagai pendukung Bandung Rapid Transportation (BRT) yang digagas Kementerian Perhubungan.
Menurut Frans, rencana pembangunan halte tematik itu perlu dibarengi dengan pemahaman yang kuat terhadap fungsi dasar dari sebuah halte. Apalagi, halte yang dibangun bakal difungsikan sebagai titik feeder menuju rute utama BRT dan didesain secara artistik sesuai ciri khas Bandung.
“Gini ya, saya pikir rencana Pemkot Bandung untuk membuat halte tematik ini sebenarnya sudah memperhitungkan unsur estetika secara cukup serius. Tema-tema itu tentu menarik, dan saya apresiasi niat baik tersebut,” kata Frans saat dihubungi melalui saluran telepon pada Jumat (1/8/2025).
Ia menekankan, pembangunan tersebut jangan sampai menghilangkan fungsi halte hanya karena fokus sisi artistik semata.
Baca Juga: DPRD Kota Bandung Soroti Kenaikan HIV AIDS Akibat Gay, Harus Ada Ketegasan Regulasi dari Pemerintah
“Tapi yang paling penting justru adalah fungsi dari halte itu sendiri. Halte jangan sampai hanya indah dilihat, tapi secara fungsional justru tidak berjalan baik. Jangan sampai halte malah jadi tempat yang tidak sesuai peruntukannya. Halte itu harus tetap bekerja sebagai halte, sebagai tempat transit atau berkumpulnya orang istilahnya melting pot,” ungkap dia.
Lebih lanjut, ia juga menyebut bahwa penentuan lokasi halte berdasarkan kajian mobilitas warga Kota Bandung. Sehingga halte-halte tersebut dapat berfungsi dengan semestinya.
“Penempatannya harus berdasarkan kajian mobilitas masyarakat. Harus ada simulasi yang jelas. Jangan sembarangan menaruh halte di sembarang tempat. Misalnya, titik-titik yang punya frekuensi pergerakan manusia yang tinggi seperti pusat niaga, pusat pendidikan, atau titik transit lainnya itu harus diprioritaskan,” ucap Frans.
Disinggung soal, efektivitas antara membangun halte baru atau merevitalisasi yang lama, menurutnya kedua hal tersebut penting. Namun hal tersebut kembali pada prioritas serta kondisi efisiensi anggaran yang saat ini tengah dijalankan pemerintah.
“Dua-duanya penting. Tapi kembali lagi pada pos anggaran dan efisiensinya. Kalau memang memungkinkan, halte-halte yang sudah ada bisa direvitalisasi dan ditingkatkan fungsinya. Fokus utamanya tetap pada fungsi haltenya dulu, bukan sekadar tematiknya,” tutur Frans.
Menurutnya, jika halte lama masih bisa difungsikan secara optimal, maka mempercantik dan memperbaikinya bisa menjadi pilihan yang lebih hemat anggaran.
“Kalau halte itu berfungsi baik sebagai tempat orang berkumpul dan naik-turun kendaraan umum, baru tematik bisa jadi nilai tambah,” cetus dia.
Selain itu, ia juga menyoroti kondisi transportasi umum di Bandung sendiri memang masih memprihatinkan. Banyak warga yang belum tertarik untuk beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi publik. Hal itu disebabkan kebijakan transportasi yang dinilai belum menyentuh akar persoalan.
“Pemerintah seringkali hanya berwacana soal transportasi publik. Tapi menurut saya, yang belum ada itu adalah langkah konkret secara bertahap (step by step) untuk membangun sistem transportasi publik yang benar,” beber Frans.
Ia menerangkan, pembangunan transportasi publik tidak bisa dilakukan secara serampangan tanpa perencanaan menyeluruh.
“Jangan hanya bangun citra dulu. Jangan langsung mikir soal pengadaan bus atau halte, sementara infrastrukturnya belum siap. Yang benar itu dimulai dari satu koridor dulu. Uji coba trayek, benahi jalurnya, siapkan halte dan informasi rutenya, integrasikan dengan angkot sebagai feeder,” terang Frans.
Tanpa skema pengembangan yang berkelanjutan, kata dia, anggaran hanya akan habis tanpa hasil yang dirasakan masyarakat.
“Kalau semuanya langsung dibangun tanpa arah dan konektivitas yang jelas, ujung-ujungnya hanya pemborosan anggaran. Transportasi publik kita akan stagnan dan tidak berkembang dari tahun ke tahun. Harusnya ada prioritas. Misalnya, tahun ini fokus ke satu koridor, tahun depan tambah satu lagi. Itu baru berkelanjutan,” tutup dia.
(Niko)


