Balap Liar Tak Bisa Dianggap Remeh, Ini Seruan DPRD Surabaya
Surabaya, Nawacita — Fenomena balap liar di Kota Surabaya bukan sekadar urusan pelanggaran lalu lintas. Di balik kegaduhan malam dan deru mesin, tersembunyi realitas sosial yang kompleks dan kerap luput dari perhatian.
Anggota Komisi A DPRD Surabaya, Azhar Kahfi, menyoroti balap liar bukan sebagai kenakalan remaja biasa, melainkan sebuah subkultur yang tumbuh dan diwariskan. Ia menegaskan, pembatasan jam malam sebagai langkah preventif tetap perlu, namun harus disertai pemahaman yang mendalam terhadap latar belakang para pelaku.
“Balap liar bukan kegiatan spontan. Mereka punya titik kumpul, waktu-waktu rutin, hingga kode etik tak tertulis. Ini sudah menjadi pola yang terstruktur,” ujar politisi Gerindra itu.
Baca Juga : Komisi D DPRD Surabaya Soroti Krisis Guru SD, Desak Pemkot Ambil Langkah Nyata
Lebih jauh, Kahfi menyebut bahwa aktivitas ini lahir dari proses sosial yang panjang—dimulai dari kecintaan pada dunia otomotif hingga terbentuknya solidaritas komunitas yang kuat. Sayangnya, komunitas ini sering dipandang sebagai masalah semata, bukan potensi yang bisa diarahkan.
“Anak-anak ini tidak sekadar kebut-kebutan. Ada sejarah bengkel, eksperimen mesin, dan keberanian yang tumbuh sejak kecil. Tapi ketika tak ada ruang yang mewadahi, mereka lari ke jalanan,” jelasnya.
Ia mendesak agar Pemkot Surabaya dan Polrestabes menciptakan pendekatan baru—bukan sekadar represif, tetapi berbasis pemahaman sosial dan psikologis.
Baca Juga : Komisi A Soroti Kekosongan 125 Kades di Jawa Timur
“Perlu penanganan yang lebih manusiawi dan terarah. Mereka butuh ruang, bukan hanya razia,” tegas Kahfi.
Menurutnya, selama tidak ada kebijakan yang mampu menjangkau dan merangkul energi anak-anak jalanan ini, maka balap liar akan terus berulang sebagai ekspresi perlawanan dan pencarian jati diri yang tidak terfasilitasi.
“Siapa tahu, anak yang dulu hanya bantu ayahnya di bengkel bisa jadi legenda seperti Max Biaggi—jika diberi jalur yang benar,” tutupnya.


