Wakil Ketua DPRD Surabaya Desak Penanganan Cepat Sengketa Agraria
Surabaya, Nawacita – Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni, menyoroti semakin maraknya konflik agraria seiring dengan melonjaknya harga tanah di Kota Pahlawan. Menurutnya, fenomena ini merupakan hal yang lumrah terjadi di kota-kota besar.
“Ini rumus yang lazim. Ketika harga tanah naik, maka potensi konflik agraria terbuka lebar,” ujar Fathoni dalam keterangannya kepada media, Senin (15/7/2025).
Ia mengimbau warga pemilik tanah di Surabaya untuk tidak hanya mengandalkan dokumen yuridis, tetapi juga melakukan penguasaan fisik atas tanah miliknya.
“Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memasang pagar atau papan nama di atas tanah tersebut. Ini penting agar tanah tidak diklaim atau diserobot oleh pihak lain,” tegasnya.
Baca Juga : Menteri ATR/BPN: Penyelesaian RDTR di Jatim Jadi Prioritas untuk Percepatan Investasi
Fathoni juga menyinggung aset milik korporasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PT KAI, yang banyak berasal dari proses nasionalisasi berdasarkan Undang-Undang tahun 1960. Menurutnya, tidak sedikit warga yang mengadu ke DPRD karena tanah mereka—yang masih tercatat dengan bukti kepemilikan Petok D—tiba-tiba telah terbit sertifikat hak milik atas nama orang lain.
“Dalam konteks hukum positif, sertifikat dianggap sah oleh negara hingga ada keputusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya,” jelasnya. Namun, proses peradilan dianggap terlalu melelahkan, terutama bagi masyarakat kecil yang lemah secara ekonomi.
“Bayangkan, proses pengadilan tingkat pertama saja bisa memakan waktu enam bulan sejak perkara mulai disidangkan. Belum lagi ada proses banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Ini jelas sangat menguras energi, waktu, dan pikiran para pencari keadilan,” keluhnya.
Ia berharap Kantor Pertanahan Surabaya I dan II serta Kanwil BPN Jawa Timur lebih proaktif menangani persoalan agraria melalui bidang khusus penanganan sengketa.
Baca Juga : Gubernur Sumsel Dampingi Menteri ATR/BPN Serahkan Sertifikat Puslatpur
“Mereka kan punya buku warkah yang mencatat semua riwayat tanah, termasuk proses jual beli dan peralihannya. Dari situ sebenarnya bisa diambil kebijakan atau diskresi, tanpa menunggu putusan pengadilan,” katanya.
Fathoni juga menyoroti kasus tanah warga yang sudah bersertifikat hak milik namun tercatat dalam Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (Simbada) milik Pemkot Surabaya. Banyak aset yang tercatat sejak tahun 1990-an membuat pejabat saat ini enggan mencabutnya karena khawatir berurusan dengan hukum di kemudian hari.
Untuk itu, ia mendorong adanya solusi hukum yang lebih cepat dan tidak memberatkan masyarakat. Salah satunya, dengan menerbitkan surat edaran Mahkamah Agung (MA) yang memungkinkan konflik agraria antara masyarakat dan korporasi diselesaikan melalui jalur peradilan cepat, tanpa melihat nilai kerugian yang disengketakan.
“Ini jadi introspeksi kita bersama. Saya harap MA bisa mengeluarkan surat edaran agar kasus sengketa agraria tak selalu bergantung pada besarnya kerugian, melainkan dilihat dari siapa para pihaknya. Tujuannya agar masyarakat bisa mendapatkan keadilan dengan prinsip efektif dan efisien,” pungkasnya.


