Pakar Peringatkan Anomali Digital Ancam Perkembangan Otak Anak
Surabaya, Nawacita.co – Video pendek berjudul Ballerina Cappucina atau Tralalero Tralala mungkin terdengar lucu dan menggemaskan di telinga anak-anak. Namun di balik warna-warna cerah dan tokoh-tokoh absurd yang menari dan bernyanyi tanpa henti, ada kekhawatiran besar yang mulai muncul dari para pakar pendidikan anak.
Hal tersebut disampaikan oleh, dosen Pendidikan Guru PAUD di Petra Christian University (PCU), Lisa Narwastu Kristsuana, bahwa konten semacam itu sebagai bentuk anomali digital yang berpotensi merusak struktur perkembangan otak anak.
“Kontennya tidak logis, tapi justru itu yang menarik bagi anak usia dini. Masalahnya, ketika konten seperti ini dikonsumsi terus-menerus tanpa arahan, anak jadi pasif, kehilangan kemampuan fokus, dan emosinya terganggu,” ujarnya.
Menurut Lisa fenomena ini diperparah oleh sistem rekomendasi otomatis di platform digital yang mendorong tontonan serupa secara berulang.
Baca Juga: Karya Metaformation Evelyn Graciella PCU Raih Penghargaan di Asian Student Fashion Week
Efeknya adalah produksi dopamin yang tidak stabil, merusak struktur otak dalam menyerap informasi, dan lambat laun memicu brainrot—istilah populer yang merujuk pada penurunan fungsi kognitif akibat paparan konten tak bermutu.
“Karena imajinasi memang bagian penting dari tumbuh kembang anak. Anak usia dua tahun, misalnya, wajar bermain pura-pura dan percaya pada dunia dongeng,” ucap Lisa.
Tak hanya berdampak pada kemampuan belajar, Lisa juga menyoroti efek psikologis yang mulai banyak dikeluhkan orang tua. Anak jadi lebih kasar, mudah tersinggung, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial.
Namun Lisa menegaskan, melarang sepenuhnya bukan solusi. Sebaliknya, anak justru akan semakin penasaran dan diam-diam mencari cara untuk mengakses konten tersebut.
Baca Juga: Ratusan Fotografer Muda Unjuk Gigi di Festive Youth Intersalon PCU
“Semakin dilarang, makin mereka melawan. Yang dibutuhkan adalah relasi yang kuat dan komunikasi yang hangat antara orang tua dan anak,” ungkapnya.
Lisa menekankan, edukasi untuk orang tua dan guru sangat krusial, tidak hanya terkait penggunaan teknologi, tetapi juga dalam menanamkan nilai. Anak-anak harus tumbuh dengan kesadaran bahwa mereka berharga, bukan karena tampilan luar atau validasi dari media sosial, tapi karena mereka dikasi dan dihargai di rumah.
Ia berpesan, di era digital yang serba cepat ini, pelindung terbaik bagi anak-anak bukanlah pelarangan atau sensor, melainkan hubungan hangat, komunikasi jujur, dan kasih sayang tanpa syarat.
“Dunia maya boleh saja absurd, tetapi dunia nyata harus tetap jadi tempat anak-anak bertumbuh dengan utuh dan bahagia,” tutupnya.
Reporter: Alus


