Friday, December 26, 2025
HomeJejak SejarahJejak Sejarah Klenteng Giri Toba di Bandung: Ajarkan Toleransi dalam Beragama

Jejak Sejarah Klenteng Giri Toba di Bandung: Ajarkan Toleransi dalam Beragama

Jejak Sejarah Klenteng Giri Toba di Bandung

Bandung, Nawacita – Klenteng selalu menjadi tempat yang identik dan ikonik saat perayaan Imlek. Ketika mendengar kata “Klenteng”, tentu yang terbesit adalah ornamen dan hiasan khas agama Kong Hu Chu.

Namun, berbeda dengan salah satu klenteng yang ada di Bandung ini. Ia memiliki keunikan tersendiri yang menonjolkan toleransi dalam beragama.

- Advertisement -

Klenteng tersebut bernama Klenteng Giri Toba. Klenteng bersejarah ini merupakan salah satu klenteng yang terletak di Astana Anyar Kota Bandung.

Jika dilihat sekilas, memang klenteng ini biasa. Namun, saat berada di dalam, disuguhkan dengan Altar ibadah bukan hanya dari agama Kong Hu Chu, tapi juga dari berbagai agama lainnya.

Lantas, bagaimana jejak sejarah berdirinya Klenteng Giri Toba?

Berdirinya Klenteng Giri Toba

Klenteng Giri Toba sendiri didirikan sejak tahun 1961. Klenteng ini mengusung konsep toleransi beragama sejak pertama kali didirikan.

Di klenteng ini pula, Anda bisa melihat Altar dari berbagai agama dan kepercayaan, salah satu yang paling unik adalah Altar persembahyangan agama Islam dan kepercayaan Kejawen.

“Selain agama kong huchu, di klenteng kita ada tempat ibadah tri dharma atau untuk kong hu Chu, Budha dan Thao, ditambah dengan Islam dan kejawen. Kejawen sendiri adalah suatu ilmu yang dalam yang ada persamaannya dengan budhis dari ajaran tasawuf,” terang Ketua Klenteng Giri Toba Bandung, Sanjaya Wangsawiharja kepada Nawacita.co, Selasa (28/1/2025).

Sanjaya menyebut, pada Altar persembahyangan agama Islam dan kepercayaan kejawen, di klenteng itu juga terdapat patung Eyang Semar yang dipercaya sebagai sesepuh atau pelindung dalam kepercayaan kejawen.

Selain patung Eyang Semar, juga ada foto Walisongo yang dipajang di Altar tersebut. Nama-nama nabi dan rosul serta para imam besar dalam agama Islam juga terpampang di Altar tersebut.

“Makanya kita ada altar khusus yang ada patung eyang semar, foto Walisongo, nama-nama nabi hingga nama-nama imam di Islam,” jelasnya.

Pendiri Altar 

Ia mengatakan, bahwa Altar tersebut telah dibangun sejak klenteng pertama kali didirikan oleh seorang suhu Kong Hu Chu bernama Suhu Cang Siu Tze.

Menurut Sanjaya, Cang Siu Tze telah mempelajari semua agama dan berkeyakinan bahwa semua agama menyembah kepada satu Tuhan yang sama.

“Kenapa bisa ada banyak ajaran seperti itu, karena suhu kita suhu Cang SIU TZE mempelajari semua agama, universal untuk melayani semua umat dengan cara kebatinan, pengobatan dan peribadatan sesuai agama masing-masing,” paparnya.

Atas dasar kepercayaan tersebut, akhirnya Cang Siu Tze membuat klenteng dengan konsep tempat persembahyangan untuk semua agama. Hal itu menjadi simbol toleransi tersendiri dari Klenteng Giri Toba ini.

“Memang untuk seluruh agama, jadi umat yang datang dari muslim, hindu, budha, kong hu chu dipersilahkan sesuai dengan kepentingan umat beragamanya dan bertoleransi dengan semua kalangan, bermasyarakat yang melaksanakan falsafah Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Jadi untuk menjaga keharmonisan masyarakat yang ada di sekitarnya maupun yang di luarnya,” tegas Sanjaya.

Toleransi dalam Beragama

Konsep toleransi tersebut juga ternyata bukan hanya simbol pada latar semata, namun memang diimplementasikan oleh para Umat Kong Hu Chu di klenteng tersebut.

Beberapa kegiatan dengan agama lain rutin dilakukan oleh pihak klenteng setiap satu tahun sekali seperti bakti sosial, Maulid Nabi hingga perayaan Hari Raya Idul Fitri.

“Peribadatannya ada kebaktian, dan kalau bulan maulid juga kita biasa ngadain maulid, kita undang para ustad para kiai dan umat muslim dan kong hu chu. Di situ juga umat kong hu chu sambil mendengarkan ceramah dengan para ustad dan kiai,” tuturnya.

“Kita juga sering ada baksos untuk kemanusiaan, bagi-bagi beras, kalau menjelang cap gomeh, terus juga kalau bulan puasa kita juga sering bagi-bagi takjil. Kalau Idul Fitri juga kita sering bagi-bagi kueh lebaran ke masyarakat,” tambah Sanjaya.

Ia mengatakan hal tersebut juga diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar yang mayoritas beragama muslim.

“Nggak ada yang komplain karena kalau lingkungan kita kan harus bersahabat dengan semuanya, melayani masyarakat. Jadi tidak memandang ras manapun, agama apapun kita layani dengan baik,” tandasnya.

Sebagai informasi, meski klenteng tersebut tidak terletak di kawasan Pecinan, namun klenteng itu tetap berdiri kokoh di tengah pemukiman warga yang mayoritas beragama muslim.

Makna Giri Toba

Klenteng tersebut selalu menjunjung tinggi filosofis di dalamnya. Filosofis itu juga sarat akan toleransi. Sebab, nama Giri Toba sendiri diambil dari filosofis kasundan tentang tuhan.

Berikut bunyinya :

“Gusti nu maha suci, Imut pisan ka makhlukna, Repeh rapih kahoyongna, Iman nu lima geura jaralankeun, Tobat gusti kaula neda tobat, Omat pisan pangjaringkeun,Bilih aya pancang pakewuh, Abdi rela pasrahkeun jiwa sareng raga”.

Arti :

“Tuhan yang maha suci, selalu ingat kepada hambanya, bagus kehendaknya, kelima rukun iman segera jalankan, ampun tuhan kami memohon ampun, hamba memohon untuk dihindarkan dari segala dosa, kalau ada kesusahan dan cobaan hamba pasrahkan kepada tuhan”.

Konsep klenteng ini memang lebih kental dengan perpaduan budaya dan kepercayaan Kong Hu Chu dan Kasundan.

Reporter : Niko

RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

Bank Jatim Nataru
- Advertisment -

Terbaru