MUI dan NU Beda Pendapat Soal Pewarna Makanan dari Serangga Cochineal
Nawacita – Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur baru-baru ini merilis keputusan yang menegaskan bahwa pewarna karmin atau carmine, yang berasal dari serangga cochineal, dianggap haram dan oleh karena itu tidak boleh digunakan dalam bahan pangan atau kosmetika. Keputusan ini bertentangan dengan fatwa yang telah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2011, yang menyatakan bahwa pewarna tersebut adalah halal.
Karmin adalah pewarna yang berasal dari ekstrak serangga jenis cochineal atau kutu daun, yang biasa ditemukan dalam produk pangan seperti yoghurt, susu, permen, dan es krim.
Keputusan LBMNU Jatim didasarkan pada ajaran Imam Syafi’i, yang menganggap bangkai serangga (hasyarat) sebagai najis dan oleh karena itu tidak boleh dikonsumsi.
Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, Romadlon Chotib, mengungkapkan bahwa produk yang mengandung pewarna karmin biasanya mencantumkan kode E-120 dan menyarankan umat Islam untuk menghindarinya.
“Karena hal itu, kita sudah memutuskan (dalam bahtsul masail) bahwa (karmin) itu merupakan bagian yang diharamkan menurut Imam Syafi’i. Dan kita adalah orang-orang dari kalangan Syafi’iyah,” ujar Chotib dikutip dari laman resmi NU Jatim, Jumat (29/9/2023).
Posisi Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Sebaliknya, MUI, yang menetapkan fatwanya berdasarkan hasil dari lebih dari enam forum diskusi dan konsultasi dengan ahli entomologi, berargumen bahwa serangga cochineal memperoleh nutrisinya dari tanaman kaktus dan bukan dari bahan yang kotor.
Oleh karena itu, mereka menganggap pewarna tersebut halal. Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Soleh, menegaskan bahwa MUI telah mempertimbangkan dengan saksama jenis serangga ini dalam konteks pewarna makanan.
“Karena pada hakikatnya dia halal dan tidak membahayakan,” ujar Niam dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (28/9/2023).
Saat ditanya tentang keputusan LBMNU Jatim, Asrorun Niam Soleh menghargai keputusan tersebut sebagai bagian dari proses ijtihad yang perlu dihormati, meski ia mencatat bahwa pendekatan yang digunakan oleh kedua lembaga dalam menetapkan hukum berbeda.
“Masing-masing ada argumen dan hujjah yang mendasari sehingga tidak perlu dipersoalkan berlebihan, dan hasil ijtihad tidak membatalkan satu sama lain,” kata dia. inlh



