Thursday, December 25, 2025
HomeTOKOHOPINIHari HAM Internasional: Potret Etika dan Akuntabilitas Petugas Lembaga Pemasyarakatan

Hari HAM Internasional: Potret Etika dan Akuntabilitas Petugas Lembaga Pemasyarakatan

Nawacita – 10 Desember 2021 ditetapkan sebagai hari Hak Asasi Manusia Internasional. Namun, persoalan hak asasi masih menjadi fenomena gunung es yang terus menerus mengakar di sistem pemasyarakatan kita, salah satunya adalah kekerasan terhadap warga binaan. Hal ini dibuktikan dalam Temuan dalam Kertas Kebijakan Lima Lembaga Negara tentang Memastikan Mekanisme Pencegahan Penyiksaan di Indonesia melalui Ratifikasi OPCAT yang menggambarkan bahwa petugas pemasyarakatan di berbagai daerah seringkali berlaku sewenang-wenang, tidak profesional, mengeksploitasi tahanan untuk melakukan tugas yang tidak seharusnya, dan memberikan tahanan tekanan serta intimidasi fisik dan psikis.

Sipir atau yang dikenal juga sebagai polisi khusus pemasyarakatan (Polsuspas) sejatinya berkedudukan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Sebagai ASN, sipir seharusnya menjadi pelayan masyarakat dengan membina, mengawasi, serta menjaga ketertiban, keamanan, dan keselamatan para narapidana baik yang berada di lapas maupun rumah tahanan (rutan). Namun, idealisme ini terlihat kontradiktif dengan kasus yang terjadi di lapangan, sehingga kekerasan yang terjadi layak disebut sebagai maladministrasi.

Penggunaan kekuasaan dan otoritas petugas lapas merupakan persoalan yang rentan. Overpower petugas lapas dan ketimpangan kekuasaan juga diindikasi sebagai buntut dari kasus-kasus kekerasan ini. Ketimpangan kekuasaan yang terjadi akan menimbulkan sifat pelayan publik sebagai penguasa yang ingin dilayani, sehingga sekat-sekat ASN sebagai pelayan publik pun akan terdegradasi. Kekerasan yang marak terjadi ini seringkali diatasnamakan juga sebagai tindakan disipliner. Namun, ambiguitas atas pemilihan tindakan disipliner yang dilakukan ini malah mengacu kepada pelanggaran-pelanggaran etik petugas pemasyarakatan serta pelanggaran hak asasi manusia yang berbentuk penyiksaan. Seolah-olah, alasan disipliner yang dituahkan petugas melegalkan adanya tindakan kekerasan dalam tujuan pembinaan kembali masyarakat. Dalam tulisan ini, saya akan menjabarkan fenomena ini melalui permasalahan etika yang ditinjau berdasarkan standar etik dan hak asasi manusia serta permasalahan akan akuntabilitas.

- Advertisement -

Standar Etik dan Ukuran atas Hak Asasi Manusia

Ukuran atas penggolongan suatu tindakan sebagai penyiksaan dituangkan pada ratifikasi konvensi anti-penyiksaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Dalam Pasal 1, dinyatakan bahwa istilah “penyiksaan” diartikan sebagai sebuah tindakan yang disengaja dan menimbulkan rasa sakit ataupun penderitaan, baik fisik maupun mental seseorang. Perbuatan ini juga digambarkan sebagai bentuk diskriminasi dan tindakan yang dilakukan dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang memiliki kapasitas publik. Dengan standar ini, menurut saya perbuatan-perbuatan dalam kasus yang ada di lapangan tentu sudah dapat dikategorikan melanggar batas-batas hak asasi dan melanggar ketentuan konvensi anti penyiksaan.

Kasus pemaksaan petugas terhadap narapidana untuk megonsumsi makanan atau minuman tidak pantas yang kerap dialami warga binaan Lapas Kelas II A Yogyakarta dalam pengakuan Vincentius Titih Gita, eks napi yang melapor ke ORI, tampaknya juga melanggar ketentuan dari Standar Minimum Perlakuan terhadap Narapidana atau Mandela Rules (dalam Resolusi No. 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) tanggal 13 Mei 1997) yang mengatur bahwa seorang narapidana berhak atas fasilitas makan, minum, dan air bersih yang berkualitas. Fakta ini juga kontradiktif terhadap pernyataan Cabral, Sandrol, dan Santos dalam “Accountability in Prison Service: Where are our Principals” bahwa seharusnya sistem lembaga pemasyarakatan bertanggung jawab atas kebutuhan dan kesehatan sosial, fisik, dan mental warga binaan.

Sebagai suatu pekerjaan dengan profesionalisme, tentu petugas lapas memiliki kode etik yang harus ditaati. Tindakan pemukulan menggunakan selang tanpa alasan yang jelas yang kerap dialami warga binaan di lapas yang sama merupakan suatu bentuk pelanggaran etik yang diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP). Dalam SOP Penggunaan Kekuatan yang sudah ditetapkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, tidak disebutkan adanya pelegalan untuk menggunakan selang sebagai alat disipliner, sehingga hal ini dinilai salah. SOP tersebut juga membagi penggunaan kekuatan terhadap empat tingkatan. Tingkatan ini diklasifikasi berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan, sehingga menggunakan kekuatan fisik tanpa alasan yang jelas terhadap narapidana jelas dapat dikatakan sebagai pelanggaran.

Tata Kelola dan Akuntabilitas yang Diragukan

​​Akuntabilitas memiliki keterkaitan dengan pembentukan tata kelola yang baik (good governance). Mengutip Andrew dalam “Prisons, the Profit Motive and Other Challenges to Accountability”, akuntabilitas bersifat penting dalam lembaga pemasyarakatan. Sebab, akuntabilitas memiliki keterkaitan dengan efisiensi, efektivitas, serta keadilan. Permasalahan klasik lembaga pemasyarakatan adalah tata kelola yang buruk serta akuntabilitas yang diragukan. Jika kita berkaca dari kasus kebakaran Lapas Kelas I Tangerang, kasus tersebut terjadi sebagai wujud dari suatu bentuk tata kelola yang buruk. Mengapa demikian? Lapas Kelas I Tangerang memiliki daya tampung sebanyak 600 orang, tetapi dihuni oleh 2.072 warga binaan. Overcapacity penghuni lapas ini merupakan suatu bentuk buruknya tata kelola. Pada saat kebakaran terjadi, sipir yang berjaga juga sangat minim karena hanya ada 15 orang, hal ini dapat dikaitkan dengan akuntabilitas sipir yang diragukan.

Anomali yang terjadi tersebut menyiratkan bahwa akuntabilitas birokrat lapas diragukan. Padahal, akuntabilitas sangat penting untuk mengevaluasi efektivitas pelaksanaan tugas, dalam hal ini birokrat lapas, oleh pejabat publik dan instansi pemerintah. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika dari awal tidak ada akuntabilitas yang terbangun, masyarakat maupun Kemenkumham sendiri akan sulit untuk mengawal dan mengawasi pelaksanaan tugas birokrat lapas. Sulitnya akses untuk mengawasi kinerja lapas sendiri dapat memunculkan praktik-praktik pengabaian terhadap hak asasi narapidana serta fasilitas penunjang lapas.

Adanya konsekuensi atas akuntabilitas yang rendah ini menimbulkan kegetiran. Padahal, lembaga masyarakat adalah lingkungan yang rentan akan terjadinya tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh sesama narapidana maupun birokrat lapas. Lebih lanjut, dalam jurnal “​​Restorative Justice and a Better Future”, Braithwaite mengatakan bahwa tindakan kekerasan, jika terus mengakar dapat menimbulkan konsekuen buruk dan menjadikan lapas sebagai “lembaga pendidikan” untuk berkembangnya kejahatan baru. Hal tentu menjadi ironi dan bertentangan dengan tujuan didirikannya lembaga pemasyarakatan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan petugas lapas yang berperspektif terhadap HAM. Bangkok Rules 29-35 menekankan bahwa petugas harus memahami soal hak asasi manusia berbasis gender dan anti diskriminasi, termasuk integrasi sosial. Standar ini nampaknya masih jauh dari ditaati oleh sebagian besar petugas lembaga pemasyarakatan kita.

Lalu, bagaimana untuk mencapai akuntabilitas yang baik? Untuk mewujudkan akuntabilitas yang baik, diperlukan adanya struktur akuntabilitas formal di dalam lapas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pemasyarakatan serta birokrat di dalamnya. Selain itu, perlu ada pelatihan untuk mengontrol pemaksaan dan kekerasan sebelum petugas lapas ditugaskan sepenuhnya. Prinsipnya, kekuatan (force) hanya dapat digunakan ketika memang sangat diperlukan. Dengan hal ini, berarti bahwa harus ada serangkaian prosedur yang jelas atas ukuran ini. Jika petugas melakukan tindakan-tindakan penggunaan kekuatan, baik fisik maupun lisan, diperlukan sebuah pencatatan sebagai jaminan atas akuntabilitas kinerja petugas dan lapas. Mengambil pernyataan John McGuckin dalam Prison Management Booklet, semua petugas lapas yang berhubungan langsung dengan tahanan juga perlu dilatih secara khusus untuk menggunakan kekuatan fisik secara minimal untuk mengontrol tahanan. Yang menjadi poin adalah petugas tidak boleh melupakan fakta bahwa narapidana juga seorang manusia yang memiliki hak asasi.

Sebagai ASN, petugas lapas sudah seharusnya memiliki profesionalisme, misalnya dalam kontrol atas tindakan dan emosi mereka. Selain itu, penerapan sistem merit terhadap kinerja petugas lapas juga perlu menjadi urgensi. Dengan penerapan sistem merit, diharapkan akuntabilitas lapas semakin terjamin demi pembangunan tata kelola lembaga pemasyarakatan yang lebih baik. Selain itu, perlu ditetapkan sanksi administratif secara tegas, seperti pemecatan, dan sanksi hukum jika terbukti ada pelanggaran HAM yang dilakukan petugas lapas. Pemerintah, sebagai pelayan masyarakat perlu untuk mengawal urgensi penegakkan HAM dan memerangi pelanggaran HAM, tak terkecuali bagi warga binaan. Sebab, pengabaian keselamatan warga binaan dapat dikategorisasikan sebagai state crime yang menurut Green dan Ward dalam ​​State Crime: Governments, Violence and Corruption akan menimbulkan konsekuensi rusak atau hilangnya kepercayaan masyarakat.

Penulis :

Arnetta Nandy – Asisten Kajian dan Penelitian HIMANERA FIA UI

RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Terbaru