Surabaya, Nawacita – Wacana penerapan kebijakan ‘New Normal’ dari Pemerintah Pusat masih jadi perdebatan di kalangan publik. Rencananya kebijakan ini akan dimulai 1 Juni 2020 mendatang. Ada 4 Provinsi dan 25 Kabupaten atau Kota yang akan menerapkannya. Salah satunya kota Surabaya.
Konsep New Normal ini pun masih menjadi dilema. Apalagi dalam penerapan di bidang pendidikan di Surabaya.
Isa Ansori Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur mengatakan sudah mengusulkan beberapa skenario ke Pemerintah Provinsi. Salahsatunya dengan mempertimbangkan sekolah-sekolah yang sekiranya siap membuka kembali pengajaran di kelas.
“Siap seperti apa? Siap dalam hal sosialisasinya. Juga siap memenuhi protokol-protokol kesehatan yang berlaku,” terangnya kepada Nawacita pada Jumat 29 Mei 2020.
Sedangkan sekolahan yang belum siap dipersilakan membuat kebijakan sendiri. Seperti pembelajaran daring atau penugasan lainnya.
“Bagi yang belum siap bisa belajar di rumah. Sampai siap,” ujarnya.
Ditanya terkait pengawasan, Isa menjawab protokol kesehatan adalah alat pengawasannya. Sehingga ada kerjasama anatara sekolah dengan siswanya. “Yang penting prtokol kesehatan dijaga,” tukasnya.
Sementara itu, Fajar Arianto pakar teknologi pendidikan Universitas Negeri Surabaya mengatakan dalam pelaksanaan protkol kesehatan di sekolah, pemerintah harus mempersiapkan segala infrastrukturnya. Mulai dari tempat cuci tangan sampai memastikan semua siswa memakai masker saat di sekolah.
Selain itu pihak sekolah harus benar-benar memperhatikan siswanya. Terutama bagi mereka yang rentan tertular. Seperti memiliki penyakit bawaan asma, TBC, Thalasemia dan sebagainya. Juga sekolah harus menjamin siswa tidak berkerumun.
“Memberi pemahaman kepada orang tua wali murid khsususnya, harus benar-benar dilakukan oleh Dinas terkait. karena masyarakat secara umum masih phobia atau takut. Demikian juga dengan para guru,” katanya.
Dinas Pendidikan selaku penyelenggara, bisa juga mempersiapkan tambahan vitamin untuk siswanya. Agar siswa bisa kebal terhadap penyakit.
Sedangkan untuk sistem pembelajaran, menurutnya bisa memakai blended learning. Yakni perpaduan tatap muka secara langsung maupun online.
“Jadi tidak harus tiap hari ke sekolah. untuk sekolah yang tidak terjangkau dengan internet, bisa menggunakan sistem ini, dengan pembelajaran mandiri atau modul,” terangnya.
Di sisi lain, Anggota komisi D DPRD Surabaya Tjutjuk Supariono mengusulkan agar dibuatkan kloter kelas. Sehingga satu kelas hanya berisikan 50 persen dari kapasitas yang ada.
“Bisa mungkin dibuat kloter ya. Kloter pagi dan siang. Jadi dalam satu kelas bisa Physical Distancing. Jadi satu kelas dibagi dua,” ungkapnya kepada Nawacita pada Jumat 29 Mei 2020.
Politisi dari PSI ini meminta Dinas Pendidikan Surabaya untuk berkolaborasi dengan sekolah swasta. Agar ketersediaan kelas mencukupi. Sebab, Ia menilai tidak semua sekolah swasta khususnya SD dan SMP memiliki kuota yang penuh. Dalam arti masih memiliki kelas yang kosong.
“Karena engga semua sekolah swasta kuota kelasnya penuh. Harus ada kolaborasi swasta dan negeri,” katanya.
Namun, bila kebijakan ini diterapkan juga akan terkendala pada gurunya. Sebab guru sekolah akan mengajar dua kali dalam satu hari. Selain itu kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran juga akan terganggu. Terutama yang ikut pada kloter siang.
“Kalau pengalaman saya waktu SMP masuk kloter siang itu kan capek. Ya namanya juga siswa, mungkin paginya tenaga sudah terkuras. Kalau guru, mungkin bisa dapat perbantuan dari guru lain ya,” pungkasnya.
(and)


