Surabaya, Nawacita – Pasien Covid-19 yang terpapar di Jawa Timur (Jatim) kian hari bertambah jumlahnya. Sampai pada Sabtu 2 Mei 2020 pasien terkonfirmasi menyentuh angka 1.030 orang. Hal ini diperparah oleh klaster baru yang muncul di PT. H.M Sampoerna beberapa hari lalu.
Jazuli selaku Sekjend DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jatim, mengaku sudah mengingatkan Pemprov agar menutup kawasan industri sejak kasus Covid-19 baru muncul di Indonesia. Pasalnya kawasan-kawasan industri itu padat oleh pekerja. Sehingga untuk menghindari penyebaran Covid-19 dilingkungan pekerja industri lebih baik kawasan tersebut ditutup sementara.
“Awal-awal kejadian sudah kita sampaikan kepada pemerintah. Supaya kawasan di industri yang padat segera dilakukan penutupan. Agar menghindari hal-hal seperti ini (penyebaran Covid-19, red),” ujarnya pada 1 Mei 2020.
Lanjutnya, Ia juga menilai penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak maksimal. Apalagi PSBB terkesan hanya membatasi jalan raya saja. Sedangkan di pabrik-pabrik tetap dibiarkan orang-orang bergerombol.
“Engga jelas. Saya rasa pemerintah harus evaluasi diri dan benar-benar memahami kondisi seperti ini,” tukasnya.
Sementara itu, Habibus Shalihin selaku koordinator bidang Buruh dan Miskin Kota Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH) menilai Pemerintah Daerah (Pemda) lalai dalam melindungi buruh. Ia bersama aliansi Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) mengaku juga sudah memperingatkan Pemprov Jatim terkait hal itu.
Sekitaran akhir Maret 2020 lalu, Habibus bersama Getol bertemu dengan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim. Pada pertemuan itu Getol membicarakan kemungkinan penumpukan orang di dalam pabrik. Sehingga dikhawatirkan penularan Covid-19 akan cepat menyebar di dalam lingkungan seperti itu.
“Pada tanggal 23 Maret masih banyak pabrik baik Sampoerna atau lainnya, yang masih mempekerjakan ribuan buruh di dalam perusahaan. Artinya bila pemerintah bersama jajarannya mau menghindari, mengantisipasi atau memutus mata rantai virus corona, kemudian salah satu caranya yakni tumpukan orang-orang di dalam pabrik harus dikurangi,” ujarnya melalui sambungan telepon pada 2 Mei 2020.
Pada bulan Maret lalu juga ada himbauan dari Dinas Tenaga Kerja Jatim (Disnaker). Namun menurut Habibus himbauan tersebut kurang tegas. Sebab prinsip dari himbauan boleh dilaksanakan, atau tidak dilaksanakan. seandainya dibuatkan aturan hukum, maka akan ada sanksi yang berlaku bagi para pelanggarnya.
“Getol dan LBH sudah memperingatkan kepada Gubernur. Bahwa Gubernur wajib tegas memberikan aturan atau jaminan hukum kepada pekerja atau karyawan. Kalau yang terburuk dari yang buruk adalah dirumahkan maka karyawan harus diberikan gaji penuh. Lalu ada jaminan tidak ada PHK,” terangnya.
Habibus juga membandingkan perlakuan Pemda terhadap kafe dengan pabrik. Ia menjelaskan bila kafe atau warung kopi selalu ditindak tegas bila ada yang bergerombol. Sedangkan untuk pengawasan buruh yang bergerombol di pabrik masih dianggap kurang.
“Sebetulnya kalau ada aturannya itu (jaminan hukum) clear dari dulu. Satpol PP berani membubarkan kafe-kafe, tapi tidak bisa membubarkan pabrik-pabrik. Artinya kemudian aturan itu (jaminan hukum) bisa dibuat lalu diberlakukan se-Jatim. Sehingga bisa memberikan Juknis kepada Kepala Daerah. Aturan itu juga bisa diberikan kepada para pengusaha,” pungkasnya.
(and)


