Jakarta, nawacita – Tahun 2020 bakal menjadi momen restrukturisasi bagi induk BUMN perkebunan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Serangkaian upaya disiapkan demi menyehatkan kinerja sebagian anak usaha yang masih jauh dari harapan.
Dari total 14 PTPN yang berada di bawah naungan PTPN Holding, 6 di antaranya mencatatkan kerugian pada 2018. Produktivitas tanaman perkebunan yang kian turun ditambah dengan kinerja operasional yang tak membaik serta beban utang menjadi segelintir penyebab kondisi ini.
Kondisi ini setidaknya terlihat dari performa PTPN XIII. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada Kamis (5/12), Direktur Utama PTPN XIII Alexander Maha bahkan tak enggan mengakui bahwa perusahaan yang dipimpinnya memperlihatkan kinerja terburuk di antara 13 PTPN lainnya.
“PTPN XIII yang paling hancur. Ini statement saya. Kami menerima aset-aset yang buruk. Produksi tidak ada. Tanaman tua yang harus diremajakan mencapai 22.143 hektare dan pengembangan yang dilakukan gagal,” kata Alexander.
Pendapatan perusahaan tercatat mengalami penurunan dari Rp2,47 triliun pada 2017 menjadi hanya Rp1,39 triliun pada 2018 dengan kerugian yang bertambah dari Rp547,22 miliar pada 2017 menjadi Rp884,21 miliar. Sampai Oktober 2019, Alexander mengaku bahwa kerugian perusahaan telah mencapai Rp605 miliar.
Produksi sawit sebagai komoditas utama yang dikelola perusahaan yang berlokasi di Pulau Kalimantan ini pun memperlihatkan penurunan konstan selama kurun 2016–2018. Sempat menghasilkan minyak sawit mentah (CPO) sebanyak 44.587 ton pada 2016, jumlah tersebut lantas turun menjadi hanya 19.202 ton pada 2018.
Hal serupa dikemukakan pula oleh Direktur Utama PTPN IX Iryanto Hutagaol. Dia menyatakan produksi utama perusahaan berupa gula masih mencatatkan kerugian dalam beberapa tahun terakhir seiring belum beroperasinya dua pabrik gula yang tengah direvitalisasi.
Iryanto menyatakan jumlah pabrik yang dikelola PTPN IX terus berkurang seiring makin tak efisiennya operasional pabrik-pabrik berusia tua. Sempat mengelola delapan pabrik, kini tercatat hanya lima pabrik yang dikelola di mana dua di antaranya tengah dalam proses revitalisasi usai PTPN IX mendapat suntikan penyertaan modal negara (PMN) sekitar Rp1 triliun.
Kendati demikian, Iryanto mengatakan manfaat dari revitalisasi tersebut belum dirasakan karena prosesnya belum rampung. “Ini yang mengakibatkan performa tebu kami merugi,” ujarnya.
Dia mengatakan perusahaan memiliki beban utang yang sulit ditagih (unsustainable loan) dengan besaran menyentuh Rp3 triliun yang Rp2,2 triliun di antaranya merupakan utang pada bank. Sementara itu, sisanya merupakan utang perusahaan terhadap vendor dan mitra operasional.
Terlepas dari kondisi keuangan ini, Iryanto mengemukakan bahwa pihaknya telah melakukan restrukturisasi utang pada 2018 dan 2019 dengan bunga yang biasa ditanggung sebesar 10% per tahunnya menjadi 6%.
“Biasanya kami membayar utang sebesar Rp200 miliar namun dengan restrukturisasi sehigga menjadi Rp160 miliar. Pada kondisi saat ini, kerugian yang kami alami sekitar Rp390 miliar,” ujarnya.
Mengharap pada komoditas karet pun disebut Iryanto bakal sulit dengan kondisi lahan di Pulau Jawa saat ini. Berbeda dengan pengembangan karet di Sumatra, dia mengaku perusahaan kerap kesulitan mencari tenaga kerja yang berminat melakukan penyadapan karet.
Pembangunan yang masif di Jawa Tengah dan upah penyadap getah yang tak bersaing adalah segelintir alasan di balik melorotnya produksi karet PTPN IX. Produksi karet perusahaan tercatat terus turun sejak 2016, mulai dari 27.448 ton menjadi 24.897 ton pada 2018.
“Di Jawa Tengah dengan pembangunan yang pesat kami kesulitan mencari tenaga kerja sehingga [kemampuan] kami terbatas dalam mengatur tanaman karet. Bisa ditingkatkan tapi tak bisa diharapkan. Harga lima tahun terakhir juga memperlihatkan penurunan,” kata Iryanto.
Menuju Restrukturisasi
Secara total, unsustainable loan yang ditanggung induk BUMN perkebunan mencapai Rp36 triliun. Meskipun demikian, Plt. Direktur Utama PTPN Holding Mohammad Abdul Ghani meyakini performa perusahaan dapat kembali pulih dalam kurun waktu dua sampai tiga tahun ke depan. Dia menyatakan pihaknya telah menyiapkan peta jalan untuk mengurai berbagai masalah yang dihadapi anak perusahaan.
“Saya termasuk orang yang optimis. Masalah memang banyak tapi peluang juga banyak. Intinya saya pastikan PTPN III akan sehat,” kata Abdul ketika ditanyai wartawan saat jeda rapat.
Kendati memiliki utang yang cukup besar, Abdul menyebutkan aset yang dimiliki perusahaan pun tak bisa dibilang sedikit. Dengan luas lahan kelolaan sekitar 1,19 juta hektare (ha), dia mengatakan banyak lahan perkebunan yang tak lagi produktif bisa dimanfaatkan untuk diversifikasi bisnis.
“Satu contohnya di PTPN II kami punya lahan yang tak terurus di dekat bandara di Sumatra Utara seluas 8.000 ha, itu dikerjasamakan dengan BUMN dan swasta untuk model di BSD [Tangerang Selatan]. Dari situ kami memperoleh lebih dari Rp25 triliun,” jelasnya.
Optimalisasi aset-aset pada lahan bekas perkebunan ini disebut Abdul bisa dikembangkan untuk wilayah industri, kerja sama dengan pihak ketiga, atau bahkan dijual. Dia menyebutkan pihaknya beberapa waktu lalu telah melakukan transaksi dengan BNI untuk lahan seluas 9 ha yang berlokasi di Banten dengan nilai Rp900 miliar.
Secara teknis, Abdul juga menargetkan perbaikan kinerja operasional. Khususnya pada performa produktivitas komoditas utama di beberapa perusahaan yang masih di bawah rata-rata. Dia menyatakan akan meningkatkan konsolidasi antarperusahaan demi mendukung rencana ini.
“Saya sudah jelaskan bahwa tadi dengan adanya holding kami akan konsolidasi, kami pimpin perubahan sehingga kinerja produktivitas yang rendah bisa dibantu oleh holding, diperbaiki. Misalnya PTPN tertentu kelebihan cash akibat optimalisasi aset, dibantulah yang kekurangan tadi,” ujar dia.
Ke depan, Abdul menyatakan bahwa perusahaan bakal fokus pada pemasaran produk olahan di pasar ritel. Perusahaan bahkan telah menyiapkan divisi khusus untuk mendukung usaha ini. Abdul menyatakan rencana tersebut bakal mulai direalisasikan pada Januari 2020.
“Kami akan fokus pada pengembangan ke ritel, selama ini kami belum masuk secara sistematis. Kami sudah membentuk divisi khusus ritel. Bayangkan jika produksi gula kami yang mencapai 800.000 ton ke ritel sebagian, teh kami sudah mencapai 45.000 ton, ini juga akan membantu pemerintah dan ada penambahan nilai produk,” kata dia.
Perampingan perusahaan pun menjadi salah satu agenda yang akan diusulkan. Abdul mengatakan ada kemungkinan jumlah PTPN yang saat ini berjumlah 14 dikurangi menjadi hanya lima anak usaha yang dibagi berdasarkan komoditas dan wilayah pengelolaan.
“Nantinya PTPN itu, seperti arahan Pak Menteri, akan dikurangi. Kami sudah rencanakan ini dan usulkan menjadi lima. Sesuai dengan komoditas dan wilayah. Dengan cara seperti itu, dari jumlah yang banyak terpecah-pecah dengan jumlah sedikit tentunya akan menjadi lebih efisien. Konsolidasi akan lebih mudah,” harapnya.
Ulasan : Iim Fathimah Timorria – Bisnis.com


