Jakarta,Nawacita.co–Ketua Umum DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Timur, Ahmad Nawardi menilai pada Hari Tani Nasional di tahun 2017 nasib petani semakin menderita.
Nawardi mengatakan, penilaian tersebut dapat dilihat dari beberapa persoalan yang terus membelenggu petani nasional. Termasuk implementasi kebijakan pemerintah yang tidak propetani.
Kebijakan itu, tegas Nawardi, salah satunya masih adanya kebijakan impor pangan yang sebetulnya bisa dipenuhi melalui pertanian nasional.
“Kebijakan impor pangan dengan dalih apapun tetap merugikan petani. Itulah sebabnya sektor pertanian mulai tidak diminati. Demikian dapat dilihat dari jumlah petani nasional yang tiap tahun selalu terjadi penurunan,” kata Nawardi di Jakarta, Minggu (24/09/2017).
Menurut Nawardi, kebijakan impor pangan merupakan efek domino dari kurang berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap langkah-langkah pengembangan sektor pertanian, terutama dalam hal penerapan teknologi baru di sektor pertanian, seperti rekayasa genetik bibit pangan, membuat Indonesia kian sulit memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
“Sehingga impor merupakan pilihan terburuk yang harus dilakukan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional,” terang mantan anggota DPRD Jatim tersebut.
Padahal, urai Nawardi, ketergantungan terhadap impor dapat dikurangi jika pemerintah peduli terhadap nasib petani. Salah satu upaya yang bisa dilakukan dengan membiarkan petani membudidayakan bibit unggul.
Selama ini, lanjut Nawardi, petani bisa terkena pidana apabila mengambil plasma nutfah produksi perusahaan tertentu. Pengadilan menjerat petani dengan tuduhan mencuri plasma nutfah tersebut. “Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, ada serangkaian persyaratan dan uji coba sebelum satu pihak diberikan izin untuk melakukan budidaya tanaman. Sehingga petani tersandera dalam mengembangkan bibit pertanian unggul,” ujar Nawardi.
Termasuk, jelas Nawardi, memajukan teknologi sektor pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi dalam negeri. “Saat ini teknologi pertanian di Indonesia masih tertinggal dari negara lain,” imbuh Nawardi.
Nawardi juga menyoroti masih rendahnya produksi pangan dalam negeri. Hal ini, kata Nawardi, diakibatkan karena pemerintah acuh terhadap situasi yang dihadapi petani.
“Sekalipun pemerintah punya program gagal panen, tapi pelaksanaannya tidak efektif. Sehingga petani merasa tidak diperhatikan lagi oleh pemerintah,” terang pria kelahiran Madura itu.
Nawardi juga menyayangkan klaim Kementerian Pertanian (Kementan) yang menganggap produksi beras surplus. Padahal faktanya di lapangan tidak seperti itu. Itulah sebabnya Nawardi mendukung langkah BPS untuk melakukan koreksi data luas panen dan produksi padi dengan metode kerangka sample area yang diujicoba di Pulau Jawa tahun ini.
Metode ini, dinilai Nawardi, dapat menghasilkan data akurat dan menjadi acuan pengambil kebijakan, pelaku usaha, serta badan pengawas.
“Supaya tidak terjadi lagi penyesatan terhadap publik. Karena frekuensi produksi pangan nasional dalam berbagai macam cenderung selalu menurun dibandingkan dengan tingkat kebutuhan,” sambung Nawardi.
Selain itu, Nawardi juga melihat masih rendahnya kesejahteraan petani. Penilaian ini dapat dilihat dari nilai tukar petani (NTP) tahunan. NTP merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani.
“Mirisnya NTP 2014 dibandingkan NTP 2015 kemudian dibandingkan tahun 2016 sampai tahun 2017 terus mengalami penurunan. Data ini menunjukkan petani semakin lama semakin menderita. NTP tanaman pangan dalam dua sampai tiga tahun terakhir angkanya di bawah 100. Ini menunjukkan kesejahteraan petani terus menurun,” beber Nawardi.
Dengan kondisi demikian, Nawardi meminta hal tersebut jadi catatan penting bagi pemerintah. Nawardi mengingatkan program pertanian selain diarahkan untuk meningkatkan produksi pangan, juga untuk mensejahterakan kehidupan petani.
“Petani harus dimuliakan. Petani harus disejahterakan. Inilah pesan yang harus ditangkap pemerintah dalam peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh setiap tanggal 24 September,” demikian tukas Nawardi
bjs


