Home SENAYAN PARTAI POLITIK Nggolilo Nama Kampung Margorejo Jaman Biyen

Nggolilo Nama Kampung Margorejo Jaman Biyen

0
Nggolilo Nama Kampung Margorejo Jaman Biyen

“Kaos tulisan Margorejo Salah satu hasil karya dari anak Margorejo”

Surabaya, Nawacita – Sebelum dikenal dengan nama Margorejo, kelurahan yang terletak di wilayah selatan Kota Surabaya ini lebih dulu disebut Nggolilo atau Margo Lilo, karena jumlah penduduknya meningkat pesat namanya menjadi Margorejo.

Sejarah wilayah ini sudah berlangsung sejak tahun 1680an. Bersamaan dengan penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Timur.

Salah satu warga asli Margorejo, H Arif Sugito (50), yang juga ketua takmir Masjid Istiqomatul Hidayah di Jl Margorejo Masjid, mengisahkan, yang babat alas daerah ini yang masih disebut Nggolilo itu adalah Mbah Mulang atau Mbah Poleng.

”Dia sebenarnya orang kerajaan Mataram, tapi sudah ikut Kerajaan Pajang di Demak, yang telah ditaklukkan Mataram. Datang ke daerah ini untuk menyebarkan agama Islam,” jelasnya.

Mbah Mulang ini kemudian mendirikan langgar kecil dan di situlah dia mengajar agama Islam kepada warga sekitar yang sebelumnya adalah warga yang masih keturunan Majapahit.

Karena dia mengajar, maka dia disebut Mbah Mulang (mengajar). Mengapa kemudian dikenal sebagai Mbah Poleng, karena dia suka mengenakan jubah atau sarung yang berwarna-warni dan bermotif kotak-kotak. Sehingga disebut Poleng.

”Setelah meninggal pun dia dimakamkan di dekat langgarnya, yang sekarang berada tak jauh dari kompleks makam Margorejo,” ungkap pria yang akrab dipanggil Pak Haji Gito tersebut.

Sejarah kampung ini berlanjut dengan adanya keberadaan kampung Margorejo Kranggan, Margorejo Sawah, Margorejo Tangsi, Margorejo Stal, dan Margorejo Seroja.

Margorejo Seroja, merupakan kampung yang dipenuhi dengan tanaman bunga seroja. Kampung ini merupakan kampung yang dibuka di zaman Belanda.

Tapi di wilayah kampung ini juga ditemukan sebuah makam kuno yang disebut sebagai makam Mbah Jimpring. Mbah Jimpring ini disebutkan sebagai orang babat alas di wilayah ini, namun tidak ikut menyebarkan agama Islam seperti Mbah Poleng.

”Dia juga beragama Islam, tapi tidak mulang seperti Mbah Poleng,” jelas Agustiawan (45), warga Margorejo Seroja.

Kemudian kampung Margorejo Sawah, dulunya merupakan ladang persawahan yang memiliki sumber air dan juga untuk kebutuhan bagi masyarakat.

Sumber air itu juga menjadi saluran irigasi untuk lahan persawahan yang kini telah berubah menjadi pemukiman penduduk.

Tak hanya itu, di sampingnya, terdapat kampung Margorejo Tangsi, yang merupakan kompleks asrama atau yang biasa disebut tangsi sejak zaman Belanda.

Para tentara Belanda-lah yang tinggal di asrama itu hingga kemudian dilanjutkan oleh para tentara Jepang dan pemuda pribumi yang masuk sebagai tentara PETA atau Heiho, bentukan Jepang.

Di antara Margorejo Sawah dan Margorejo Tangsi, terdapat jalur kereta api yang dimanfaatkan untuk lori, yaitu kereta yang ditarik atau didorong tenaga manusia, bukan lokomotif.

”Tapi lori itu sebenarnya untuk mengangkut perbekalan dari Margorejo Tangsi ke Benteng yang ada di wilayah yang sekarang disebut Wonocolo. Di situ ada Benteng pertahanan bagi Belanda,” lanjut Sulaiman (67), warga Margorejo Tangsi.

Sedangkan Margorejo Kranggan, adalah sebutan untuk kampung yang warganya berasal dari daerah Kranggan, wilayah di Surabaya Utara yang bedol desa beramai-ramai tinggal di kampung tersebut. Tak hanya dari Kranggan, wilayah ini juga menjadi tujuan bagi warga asal Muntilan, Magelang, Jawa Tengah untuk bedol desa. Sehingga di kawasan ini juga ada nama kampung Margorejo Muntilan.

Akibat perkembangan zaman, kampung Margorejo telah banyak yang berubah fungsi dari kawasan pemukiman menjadi kawasan usaha dan perumahan mewah.

Terutama sejak dibukanya Jl Raya Margorejo di sisi selatan kampung sekitar tahun 1980an. Salah satu kampung yang hilang adalah Margorejo Stal. Nama itu timbul karena di daerah itu terdapat kandang kuda.

Banyak warga yang memiliki kuda, yang diletakkan di kandang kuda berukuran besar. Tak hanya kandang kuda, di tempat itu juga ada seorang pande besi yang membuka usaha untuk melayani pembuatan besi kaki kuda.

Di balik kegiatan memelihara kuda, warga juga ada yang memelihara sapi perah. Tapi karena tergusur, warga yang punya usaha sapi perah tergusur ke daerah ujung Wonocolo, atau sekarang terlihat ada di daerah Jemur Wonosari.

Kini kawasan Margorejo Stal sudah tinggal nama saja. Karena sudah berubah menjadi kompleks usaha Giant Maspion Square.

sry

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here