Surabaya, Nawacita.co – Polemik di internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki fase krusial.
Seruan moral para kiai sepuh yang lahir dari Forum Sesepuh NU di Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Kediri membuka babak baru dalam upaya meredakan ketegangan.
Tetapi di balik ajakan islah itu, mengemuka pertanyaan besar: bagaimana menempatkan seruan moral dalam bangunan konstitusi organisasi yang memiliki mekanisme final dan mengikat.
Pertanyaan inilah yang coba dijawab oleh tokoh NU sekaligus Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, KH Imam Jazuli, pada Selasa (2/12/2025).
Dalam pandangannya, seruan para sesepuh bukan sekadar imbauan, melainkan cahaya moral yang sejak lama menjadi jangkar persatuan di tubuh jam’iyah.
Baca Juga: Forum Sesepuh NU Serukan Pengurus PBNU Hentikan Pernyataan Memecah Belah
KH Imam Jazuli menilai seruan islah dari para kiai sepuh adalah panggilan luhur untuk kembali pada khittah NU: menjaga harmoni, menghindari konflik, dan memastikan perpecahan tidak tumpah ke ruang publik.
“Seruan itu adalah panggilan untuk menjaga persatuan dan mengedepankan kemaslahatan jam’iyah,” ujarnya.
Kiai Jazuli menegaskan, pesan kiai sepuh memiliki bobot moral yang kuat, namun tidak berada di wilayah tanzhim.
Artinya, seruan tersebut tidak dapat membatalkan keputusan struktural, terlebih keputusan Syuriyah PBNU yang secara konstitusional menduduki otoritas tertinggi.
Kiai Jazuli mengingatkan, menyepelekan keputusan Syuriyah bukan hanya berisiko merusak tatanan organisasi, tetapi juga menciptakan preseden yang mengancam stabilitas jam’iyah di masa depan.
“Keamanan struktural hanya dapat dijaga melalui kepatuhan pada AD/ART,” tegasnya.
Di tengah ketegangan antara jalan moral dan jalan formal, KH Imam Jazuli menawarkan solusi yang ia sebut sebagai islah konstitusional: menempuh mekanisme Muktamar Percepatan atau Muktamar Luar Biasa (MLB).
“Islah tidak boleh membatalkan keputusan Syuriyah secara sepihak. Ia harus berjalan melalui mekanisme konstitusional, dan jalur itu adalah Muktamar Luar Biasa,” jelasnya.
Baca Juga: PBNU Gelar Silaturahim Alim Ulama, Tak Ada Pemakzulan Ketum
Dengan demikian, rekonsiliasi tidak menjadi sekadar romantisme simbolik, tetapi berdiri di atas fondasi hukum organisasi yang sah.
Kiai Jazuli terakhir kali menegaskan bahwa NU tidak boleh terjebak pada dikotomi sempit antara seruan moral dan keputusan struktural.
“Islah adalah seruan luhur untuk meredakan konflik, sementara AD/ART menjaga ketertiban organisasi. Muktamar Luar Biasa adalah jalan kearifan yang menggabungkan keduanya,” paparnya.
Integrasi dua jalur ini, menurutnya, tidak hanya menjaga kehormatan para sesepuh, tetapi juga menghormati otoritas Syuriyah dan memastikan bahwa NU tetap berdiri kokoh secara tanzhim maupun ukhuwah.
“Dengan jalur itu, NU akan kembali utuh,” tandas Kiai Jazuli.
Reporter : Alus Tri


