Kritik Keras AJI Surabaya: Media Sering Menuruti Prasangka Publik dan Perkuat Bias Diskriminasi
Surabaya, Nawacita.co – Media seharusnya hadir sebagai ruang pencerahan publik, namun sering kali justru terjebak dalam bias, prasangka, bahkan mengikuti arus stigma yang ada di masyarakat.
Hal ini diungkapkan oleh Koordinator divisi gender dan kelompok minoritas aliansi jurnalis independen (Aji) surabaya, Johannes, seorang pemerhati media dan isu minoritas, dalam sebuah diskusi tentang tren pemberitaan di Indonesia.
Menurutnya, praktik jurnalisme yang “pandering to people’s prejudices” atau menuruti prasangka masyarakat hanya akan memperkuat bias dan diskriminasi, bukan mendidik publik.
“Alih-alih mencerahkan, media malah ikut memperkuat prasangka dan bias yang dianggap ada di masyarakat,” ujarnya.
Pria yang suka disapa Ko Jo itu mengungkap, Isu Minoritas sebagai Pengalihan. Ia menyoroti bagaimana isu minoritas, termasuk LGBT, kerap dijadikan alat pengalihan isu oleh pemerintah maupun kelompok politik.
“mencontohkan bagaimana pada masa pemilu, isu Rohingya hingga pengungsi dimanfaatkan untuk menggiring opini publik.” kaya Ko Jo.
Baca Juga: Balai Bahasa Ajak Insan Media Tingkatkan Keterampilan Menulis Tanpa Tinggalkan Kaidah Jurnalistik
Ia memandang ara paling mudah untuk mengalihkan perhatian adalah menaikkan kasus moralitas. Itu yang sering dipakai, terutama ketika citra institusi, seperti Polri, sedang terpuruk pasca-demo.
Fenomena bias gender, menurut Ko Jo, tidak bisa dilepaskan dari tren global. Ia menyinggung bagaimana di negara-negara Barat muncul gerakan konservatif yang mendorong ‘kebangkitan maskulinitas’. Dampaknya, pemberitaan yang bias terhadap perempuan maupun kelompok LGBT ikut meningkat.
“Feminisme di Indonesia sendiri belum sekuat yang diharapkan, tapi malah diterpa isu-isu global ini. Akibatnya, bukan hanya perempuan, LGBT pun ikut jadi sasaran,” ungkapnya.
Di tengah kondisi ini, Kojo menekankan pentingnya peran media dan redaksi untuk tidak sekadar mengikuti narasi pemerintah atau aparat.
“Kalau media hanya mengutip keterangan polisi tanpa cek silang, itu berbahaya. Bisa jadi malah ikut melanggengkan ketidakadilan,” tegas Ko Jo.
Jurnalisme yang Berperspektif Kritis
Sebagai solusi, ia mendorong jurnalis untuk lebih kritis dalam meliput isu-isu minoritas. Tidak sekadar memberitakan berdasarkan rilis aparat, melainkan melakukan verifikasi, menghadirkan suara korban, dan melihat konteks yang lebih luas.
“Kalau tidak, media hanya akan jadi alat pengalihan isu. Padahal tugas jurnalis adalah mencerahkan, bukan memperkuat stigma,” tutupnya.
Reporter: Alus


