Apa di Balik Monopoli Energi Indonesia? Ini Penjelasan Kementerian ESDM
Jakarta, Nawacita.co – Pemandangan tak biasa terjadi di sejumlah SPBU Shell. Bukan mengisi bahan bakar, para karyawan justru terlihat berjualan kopi dan camilan di pinggir jalan. Bukan karena ingin mencoba bisnis baru, melainkan karena stok BBM di SPBU kosong total.
Kelangkaan ini sontak memicu tudingan adanya monopoli BBM di Indonesia. Padahal, sistem monopoli resmi dihapus sejak 2011, saat liberalisasi sektor migas mulai digulirkan. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi?
Kementerian ESDM menyebut kelangkaan pasokan Shell disebabkan keterlambatan kapal tanker pengangkut BBM yang masuk ke pelabuhan Indonesia. Namun, persoalan ternyata tak sesederhana itu.
Regulasi impor menjadi sorotan. Jika sebelumnya izin impor berlaku 12 bulan, kini dipangkas menjadi hanya 6 bulan. Menurut praktisi migas, Hadi Ismoyo, aturan baru ini membuat SPBU swasta kesulitan menyesuaikan rantai logistik. Dampaknya fatal: stok kosong berkepanjangan.
Baca Juga: Stok Beras Lokal di Jatim Langka, Pengusaha Gilingan Padi di Blitar Ungkap Penyebabnya
Shell sendiri mengaku tengah mati-matian berkoordinasi dengan ESDM untuk memulihkan pasokan. Tetapi bagi masyarakat dan karyawan SPBU, kondisi ini sudah terlanjur memukul.
Sementara itu, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pemerintah sebenarnya sudah memberi kelonggaran kuota impor kepada SPBU swasta.
“Saya kan sudah ngomong beberapa kali menyangkut SPBU swasta. Mereka sudah diberikan kuota impor 110% dibandingkan 2024,” ujarnya (16/9/2025).
Bahlil memberi contoh: jika sebuah perusahaan mendapat jatah 1 juta kiloliter pada 2024, maka pada 2025 diberikan tambahan menjadi 1,1 juta kiloliter.
Baca Juga: Warga Kehilangan Opsi, Terpaksa Kembali ke Pertamina di Tengah Isu Dugaan BBM Oplosan
“Kalau masih ada kekurangan, kita minta untuk melakukan kolaborasi dengan Pertamina. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” tambahnya.
Di balik angka dan regulasi, masyarakatlah yang menanggung dampak terberat. Di tengah kemarau panjang, harga pangan naik, kini ditambah dengan krisis energi yang memaksa rakyat antre, bahkan kehilangan pilihan BBM non-Pertamina.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kebijakan energi pemerintah benar-benar berpihak pada konsumen dan keberlangsungan pemain swasta, atau justru memperkuat dominasi satu pemain utama?
Jika regulasi tidak segera diperbaiki, bukan hanya pegawai SPBU yang harus berjualan kopi untuk bertahan hidup, tapi juga rakyat yang terjebak dalam krisis energi berkepanjangan.
Reporter: Alus


