Mantan Dewan Pers Soroti Gaya Hidup Instan dan Terkikisnya Budaya Kolektivitas di Kalangan Anak Muda
Surabaya, Nawacita.co – Mantan Dewan Pers/Praktisi Media, Yosep Adi Prasetyo, ini mempertanyakan tentang masa depan generasi Z di tahun 2032 yang akan menguasai lebih dari 70 persen penduduknya berada di usia produktif.
Angka ini sekilas terdengar menjanjikan—bonus demografi yang selama ini dibangga-banggakan. Namun, apakah benar demikian? Atau justru sebaliknya: ancaman bencana generasi?
Karana pada di tahun tersebut orang-orang yang kini memegang kendali kerja akan memasuki masa pensiun. Fisik melemah, penyakit degeneratif bermunculan, dan beban kesehatan meningkat.
Namun di sisi lain, anak-anak muda kita masih banyak yang belum menikah, belum memiliki rumah, bahkan belum menemukan arah hidup yang jelas. Masalahnya tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga cara generasi muda belajar.
Baca Juga: Peringatan dari BNPT: Belajar Agama harus dari Guru dengan Sanad Jelas, Bukan dari Mbah Google
“Anak-anak sekarang belajar lewat open source. Sekolah sering hanya jadi formalitas. Tugas dikerjakan dengan bantuan aplikasi atau kecerdasan buatan, bukan lagi dengan pemikiran asli,” ujar Yosep.
Kondisi ini diperparah oleh terkikisnya budaya kolektivitas. Tradisi menari bersama, bernyanyi, atau merayakan pesta rakyat seperti tarian dero di Sulawesi Tengah yang dulu memperkuat kohesi sosial, kini tergantikan layar gawai dan konten digital.
Ia melihat generasi muda lebih akrab dengan selfie di Raja Ampat, menyesap kopi di Istanbul, lalu memamerkan foto di media sosial. Tabungan habis untuk traveling, bekerja lagi demi gaya hidup, tanpa memikirkan investasi jangka panjang, apalagi membangun keluarga dan masyarakat.
Baca Juga: FKPT Jatim Gelar Rembuk Merah Putih Lawan Radikalisme
“Inilah tantangan yang harus dijawab, tidak hanya oleh pendidik atau pemerintah, tetapi juga para seniman, budayawan, dan tokoh masyarakat. Mereka perlu menemukan cara baru untuk melibatkan generasi muda memodifikasi kesenian, budaya, dan nilai-nilai lokal agar selaras dengan teknologi yang mereka sukai,” terang Yosep.
Pria berpakaian baju putih itu berpendapat, jawabannya bukan sekadar tugas pemerintah, tapi tanggung jawab bersama. Para seniman, pendidik, dan pemimpin masyarakat perlu menghadirkan model pembelajaran dan kesenian baru yang mampu menarik minat anak muda.
“Indonesia 2032 bisa jadi tonggak kejayaan atau awal kemunduran. Pilihannya ada pada kita, membiarkan generasi muda terjebak dalam hidup instan, atau membekali mereka dengan kesadaran, makna, dan tanggung jawab sosial,” tutupnya.
Reporter: Alus


