Wednesday, December 24, 2025
HomeDAERAHJATIMBelajar dari Masa Lalu, Yosep Adi Prasetyo Tekankan Pedoman sebagai Kunci Akurasi...

Belajar dari Masa Lalu, Yosep Adi Prasetyo Tekankan Pedoman sebagai Kunci Akurasi dan Kemanusiaan

Belajar dari Masa Lalu, Yosep Adi Prasetyo Tekankan Pedoman sebagai Kunci Akurasi dan Kemanusiaan

Surabaya, Nawacita – Media memiliki peran krusial dalam membentuk persepsi publik. Sayangnya, sebelum adanya pedoman resmi, pemberitaan terorisme di Indonesia kerap justru memberi panggung bagi para pelaku.

Mantan Dewan Pers/Praktisi Media, Yosep Adi Prasetyo, mengungkapkan ketiak Ia mengisi pembicara di Rembuk Merah Putih bahwa narasi artikel malah memberi kesan bahwa aksi teror adalah sebuah “jihad” yang berhasil.

“Contohnya, ketika jenazah tersangka teroris dimakamkan, sejumlah media menulis judul sensasional seperti “jenazah tercium harum bunga”. Dan begitu pula saat terjadi bom bunuh diri, foto-foto korban dengan potongan tubuh tersebar luas, terutama lewat WhatsApp, tanpa memikirkan dampak psikologis masyarakat,” jelasnya (20/8/2025).

- Advertisement -
Mantan Dewan Pers/Praktisi Media, Yosep Adi Prasetyo, (sumber foto: Reporter Alus).

Hal tersebut merupakan tujuan utama terorisme adalah menciptakan ketakutan. Ketika foto dan video kekerasan disebarkan, kita sebenarnya sedang meneruskan pesan teroris itu sendiri.

Untuk itulah pada 2015, Dewan Pers menandatangani Pedoman Pemberitaan Terorisme. Pedoman ini mengingatkan jurnalis agar tidak terjebak dalam jebakan propaganda teror, serta tetap memprioritaskan akurasi, kemanusiaan, dan perspektif korban.

Yosep juga menyinggung kompleksitas Indonesia sebagai negara besar dengan lebih dari 17.000 pulau dan sekitar 675 kelompok etnis. Di wilayah barat Indonesia, satu provinsi biasanya identik dengan satu etnis besar—misalnya Sunda di Jawa Barat, Batak di Sumatera Utara, atau Bali di Pulau Bali.

Sebaliknya, di Indonesia Timur, satu kecamatan bisa dihuni enam hingga puluhan etnis berbeda. Papua saja memiliki lebih dari 375 kelompok etnis. “Bayangkan jika konflik muncul, kerentanannya jauh lebih besar. Karena itu, pemahaman perbedaan harus benar-benar ditanamkan,” ungkapnya.

Ia menekankan pelajaran penting dari pengalaman terorisme maupun pandemi adalah informasi bisa menjadi senjata. Jika salah dikelola, media justru memperkuat propaganda radikal. Jika masyarakat tidak kritis, hoaks bisa mengancam keselamatan.

Pedoman peliputan terorisme hadir sebagai pagar etis bagi media, agar berita tidak berubah menjadi alat teror. Sementara itu, masyarakat juga diajak untuk lebih bijak, jangan mudah percaya, selalu periksa ulang, dan berhenti menyebarkan informasi tanpa dasar yang jelas. Alus

RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Terbaru