Refleksi Kudatuli, Kisah Nyata Tekanan Pemerintah Pada Partai Politik
Surabaya, Nawacita | PDI Perjuangan Kota Surabaya peringati peristiwa kerusuhan 27 Juli (Kudatuli) 1996 dengan menyelenggarakan renungan dan refleksi yang dilaksanakan di Kantor DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya, Minggu (27/07/2025) malam.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Surabaya, Baktiono menyoroti perjuangan para kader pendahulu berjuang dalam mengawal demokrasi yang dampaknya dapat kita rasakan hingga kini.
“Saya sampaikan terima kasih pada kelompok Promeg. Mereka sampai saat ini masih tetap membantu tidak menuntut apapun. Perjuangan yang tanpa pamrih,” ucap Baktiono.
Peristiwa Kudatuli diakibatkan adanya upaya perebutan kantor PDI, antara kubu Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi. Saat itu Megawati yang memenangkan Ketua Umum pada Kongres Luar Biasa di Surabaya dan dikukuhkan dalam Musyawarah nasional pada tahun 1993 di Jakarta.
Akan tetapi pihak Soerjadi yang merupakan mantan Ketum PDI beserta pemerintah Orde Baru dianggap tidak puas dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri. Hadirnya sosok Megawati dianggap dapat menjadi ancaman bagi penguasa saat itu. Soerjadi pun dinyatakan kembali menjabat sebagai Ketum PDI berdasarkan KLB yang diselenggarakan di Medan pada 22 Juni 1996. Sehingga internal PDI terpecah menjadi dua kubu, yakni kubu Megawati dan kubu Soerjadi.
Baca Juga: PDIP Surabaya Peringati Peristiwa Kudatuli, Yordan: Momen Refleksi Kader Terus Berjuang Untuk Rakyat
Pemerintah berkuasa saat itu dianggap melakukan intervensi melalui Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letjen Syarwan Hamid dan Menteri Dalam Negeri, Yogie S Memed yang mengakui Soerjadi sebagai Ketum PDI.
“Terkait dengan adanya refleksi ini merupakan kehancuran demokrasi oleh rezim dan ambisi dari presiden Soeharto untuk tetap berkuasa, masih melakukan cara kekerasan,” ujarnya.
Insiden Kudatuli menewaskan 5 orang dan menyebabkan 149 orang luka-luka serta 23 orang dinyatakan hilang hingga sekarang. Sehingga peristiwa tersebut menjadi salah satu peristiwa kelam dan pelanggaran HAM berat yang tercatat dalam sejarah Indonesia.
“Akhirnya dunia tahu bahwa demokrasi di Indonesia masih ada tokoh yang bisa dipercaya bukan demokrasi jadi-jadian. Akhirnya pecah peristiwa 27 juli. Mereka yang hilang jumlahnya ratusan. Mereka tidak kembali sampai saat ini dan pertanggungjawabannya tidak ada sampai saat ini. Tanpa pengorbanan mereka kita tidak jadi apa apa,” ujarnya.
Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya itupun menjelaskan bahwa peristiwa Kudatuli menjadi penentu perubahan dukungan rakyat pada pemilu 1997. PDI saat itu hanya mampu meraih 16 kursi di DPR yang merupakan titik terendah partai tersebut dalam sejarah perolehan suara pemilu.
Baca Juga: Repdem Jatim Refleksikan Kudatuli, Perjuangkan Semangat Demokrasi
Hal itu disebabkan sebagian pendukung PDI kubu Megawati mengalihkan dukungannya kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang akhirnya memunculkan fenomena “Mega-Bintang”. Istilah “Mega-Bintang” dilarang penyebutannya oleh pemerintah berkuasa saat itu, hal itu mengisyaratkan adanya pertarungan antara partai penguasa saat itu (Golkar) dan partai oposisi (PPP dan PDI).
Pemerintah Orde Baru terancam dengan pergerakan yang terjadi sehingga penggunaan spanduk “Mega-Bintang” dilarang dengan dalih setiap spanduk harus mendapatkan izin dari pihak kepolisian.
“Bu Mega kala itu hanya menyampaikan, satu hari sebelum pemilu, saya Megawati Soekarnoputri secara pribadi sebagai anggota dewan tidak menggunakan hak pilihnya. Itu diikuti jutaan warga indonesia. Akhirnya di Surabaya turut membuat stiker Promeg,” ungkapnya.
“Akhirnya tahun 1997 pemilu versi orde baru yang tidak boleh diikuti oleh partai yang sah dan konstitusional. Dalam pemilu itu rakyat bimbang, ragu apa pilihan mereka. Kita punya pemimpin yang luar biasa, mega bintang, akhirnya suara PPP melesat jauh, suara DPRD di surabaya tinggal tiga,” imbuhnya.
Baktiono berharap dengan kegiatan peringatan Kudatuli, kejahatan HAM terhadap partai politik tidak akan kembali terulang.
“Jangan sampai terulang,” tutupnya
Reporter : Rovallgio


