Bandung, Nawacita – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Men-PKP) Maruarar Sirait mengungkap alasan dibatalkannya wacana pengecilan ukuran rumah subsidi.
Batalnya pengecilan ukuran rumah subsidi ini lantaran banyaknya respon negatif dari masyarakat yang disampaikan melalui DPR RI.
“Kemarin saya sudah sampaikan di DPR, kita punya tujuan baik bahwa tanah-tanah di kota itu mahal, selama ini rumah subsidi tanahnya 60 meter. Tetapi tentu kita juga harus mau mendengar, kalau respon dari masyarakat, dari DPR ya, yang mayoritas negatif,” kata Ara, Sabtu (12/7/2025).
Ia pun memohon maaf kepada publik terkait adanya wacana tersebut. Sebab wacana itu timbul dari ide dan usulan dirinya.
Baca Juga: Menteri PKP Ajukan 500 Ribu Unit Rumah Subsidi untuk Tahun 2026
“Jadi saya tarik ide itu, ya tentu kita tidak boleh memaksakan dan saya minta maaf kalau tentunya kita harus juga di ranah publik, sportif, karena itu draft ya, draft daripada keputusan saya. Tentu saya mohon maaf untuk itu kami cabut, untuk tidak kami teruskan,” jelas Ara.
Ara menjelaskan bahwa pihaknya akan terus mencari terobosan baru terkait batalnya rencana pengecilan rumah subsidi tersebut. Sebab, alasan dirinya merencanakan pengecilan rumah subsidi dikarenakan harga tanah di perkotaan yang cukup mahal.
“Ya tentu kita cari terobosan lain, itu kan pikiran terobosan. Kan mulai dari ide, ide gagasan, bukan gitu kan. Tapi kita juga harus terbuka terhadap kritik dan saran,” bebernya.
Terlebih, posisi dirinya saat ini merupakan seorang menteri yang membantu presiden di bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Sehingga dirinya harus bisa mendengarkan dan menerima aspirasi masyarakat.
“Saya pikir kami juga sebagai Menteri harus mau mendengar suara rakyat. Saya tidak mau memaksakan, walaupun saya merasa tujuannya baik, tapi saya tidak boleh dipaksakan,” tegas dia.
Ditanya soal konsep rumah susun di kawasan perkotaan sebagai pengganti wacana pengecilan ukuran rumah subsidi, Ara menuturkan bahwa hal tersebut masih menjadi prioritas. Mengingat harga tanah di perkotaan yang masih mahal.
“Ya tentu tadinya saya berpikir juga, karena tanah di kota mahal Pak. Dan banyak orang berpikir, yang penting di kota walaupun kecil, tetapi kalau pikiran itu mendapatkan respon yang negatif, ya sudah. Jadi saya juga tidak mau memaksakan,” pungkasnya.
Reporter : Niko