Sejarah Perayaan Idul Adha: Makna, Tata Cara serta Ketentuannya
JAKARTA, Nawacita – Sejarah Perayaan Idul Adha, Ketika berbicara tentang Idul Adha, kita tidak hanya membahas tentang sebuah perayaan keagamaan biasa, tetapi juga tentang momen spiritual yang kaya akan nilai-nilai kemanusiaan.
Pengetahuan tentang Idul Adha menjadi penting bagi setiap muslim untuk memahami esensi pengorbanan dan ketaatan yang menjadi inti dari hari raya ini. Dengan memperdalam wawasan tentang Idul Adha, umat Islam dapat menghayati makna sesungguhnya dari hari raya kurban yang dirayakan setiap tahun ini.
Sejarah dan kisah di balik perayaan Idul Adha mengandung hikmah yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Memahami tentang Idul Adha berarti menyelami kisah ketaatan luar biasa dari Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS yang rela mengorbankan apa yang paling berharga demi memenuhi perintah Allah SWT.
Kisah ini bukan sekadar narasi keagamaan, melainkan pembelajaran mendalam tentang nilai keikhlasan, kepasrahan, dan ketaqwaan yang menjadi fondasi ajaran Islam.
Penjelasan komprehensif tentang Idul Adha ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman kita semua, tidak hanya bagi yang merayakannya tetapi juga bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih jauh tentang salah satu hari besar dalam Islam ini.
Berikut ini kami rangkum dengan lebih dalam tentang Idul Adha mulai dari sejarah, makna filosofis, hingga praktik perayaannya di masa kini, pada Selasa (20/5).
Sejarah dan Asal Usul Idul Adha
Idul adha atau Eid al-Adha dalam bahasa Arab bermakna “Hari Raya Kurban”, merupakan perayaan yang mengenang peristiwa pengorbanan agung dalam sejarah Islam. Sejarah Idul Adha bermula dari ujian berat yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim AS berupa perintah untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail AS.
Perintah ini datang melalui mimpi yang berulang sebanyak tiga kali, menegaskan bahwa ini bukan mimpi biasa melainkan wahyu dari Allah SWT. Sebagai seorang nabi yang taat, Ibrahim AS menghadapi dilema besar antara kasih sayangnya sebagai seorang ayah dan kepatuhannya kepada Sang Pencipta.
Dalam dialog yang penuh makna, Ibrahim AS menyampaikan mimpinya kepada Ismail AS, seperti yang terekam dalam Al-Quran Surah As-Saffat ayat 102:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.'”
Dialog ini menunjukkan tingkat kepasrahan dan ketaatan luar biasa dari keduanya terhadap perintah Allah SWT.
Baca Juga: Daftar Ucapan Hari Raya Idul Adha 2023, Menyentuh Hati serta Penuh Makna
Ketika Ibrahim AS bersiap melaksanakan perintah tersebut, terjadilah mukjizat yang menunjukkan kasih sayang Allah. Saat pisau diarahkan ke leher Ismail AS, Allah menggantikannya dengan seekor domba besar sebagai sembelihan. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Quran Surah As-Saffat ayat 103-107:
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ﴿١٠٣﴾ وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ ﴿١٠٤﴾ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿١٠٥﴾ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ ﴿١٠٦﴾ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ ﴿١٠٧﴾
“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

Dalam kisah ini, terdapat ujian lain berupa godaan setan yang berusaha menghalangi Ibrahim AS dan keluarganya untuk melaksanakan perintah Allah. Ibrahim AS mengusir setan dengan melemparkan kerikil ke arahnya, sebuah tindakan yang kemudian menjadi bagian dari ritual ibadah haji yang dikenal sebagai lontar jumrah.
Peristiwa ini menggambarkan perjuangan melawan godaan dan keraguan dalam menjalankan perintah Allah, menjadi simbol perlawanan terhadap bisikan-bisikan negatif yang berusaha menjauhkan manusia dari ketaatan. Kisah pengorbanan Ibrahim AS dan Ismail AS ini kemudian menjadi landasan spiritual dari perayaan Idul Adha yang dirayakan umat Islam di seluruh dunia.
Makna dan Nilai Filosofis Idul Adha
Idul Adha membawa makna filosofis yang mendalam tentang pengorbanan, ketaatan, dan kepasrahan total kepada Allah SWT. Inti dari hari raya ini adalah mengenang pengorbanan agung Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS yang rela mengorbankan apa yang paling berharga demi memenuhi perintah Allah. Makna pengorbanan dalam konteks ini bukan sekadar tindakan fisik menyembelih hewan, tetapi lebih pada kesediaan melepaskan apa yang paling dicintai dan berharga demi meraih ridha Allah SWT.
Dalam kehidupan modern, filosofi ini dapat diterjemahkan sebagai kesediaan untuk melepaskan keterikatan berlebihan pada duniawi, ego, dan keinginan pribadi demi nilai-nilai yang lebih tinggi.
Nilai ketaatan juga menjadi pelajaran penting dari peristiwa Idul Adha. Ketaatan Ibrahim AS dan Ismail AS bukan didasari oleh ketakutan atau paksaan, melainkan atas dasar cinta dan penghambaan yang tulus kepada Allah. Keduanya menunjukkan keimanan pada tingkat tertinggi, di mana mereka meyakini sepenuhnya bahwa apapun yang Allah perintahkan pasti mengandung hikmah dan kebaikan, meskipun secara lahiriah tampak berat dan menyakitkan.
Pelajaran ini mengajarkan bahwa ketaatan sejati berarti melaksanakan perintah Allah dengan keikhlasan dan keyakinan penuh bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Idul Adha juga mengajarkan nilai persaudaraan dan berbagi kepada sesama. Penyembelihan hewan kurban dan pembagian dagingnya kepada fakir miskin dan kerabat merupakan manifestasi dari nilai berbagi kebahagiaan dan rezeki. Dalam praktiknya, dua pertiga dari daging kurban dibagikan kepada yang berhak, sementara hanya sepertiga yang boleh dikonsumsi oleh keluarga yang berkurban.
Praktik ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari berbagi dengan orang lain, bukan dari mengumpulkan dan menikmati sendiri. Nilai ini sangat relevan dalam masyarakat modern yang cenderung individualistis, mengingatkan bahwa kebahagiaan yang sejati berasal dari kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama.
Lebih jauh lagi, Idul Adha mengajarkan tentang keikhlasan dan kesabaran dalam menghadapi ujian. Kisah Ibrahim AS menunjukkan bahwa ujian terberat datang kepada orang-orang pilihan Allah, dan kesabaran dalam menghadapinya akan membawa kepada derajat yang lebih tinggi. Ibrahim AS berhasil melewati ujian tersebut dan mendapatkan gelar Khalilullah (kekasih Allah) serta diangkat sebagai Imam (pemimpin) bagi manusia.
Pelajaran ini menjadi pengingat bahwa kesulitan dan tantangan dalam hidup bukanlah hukuman, melainkan sarana untuk meningkatkan kualitas iman dan memperoleh kedekatan dengan Allah SWT. Kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi ujian hidup akan membawa manusia pada tingkat spiritual yang lebih tinggi dan pemahaman yang lebih dalam tentang makna kehidupan.
Baca Juga: Tips Memilih Hewan Kurban yang Baik serta Halal, Simak Caranya
Tata Cara dan Ritual Pelaksanaan Idul Adha
Perayaan Idul Adha dimulai dengan ibadah salat Id yang dilaksanakan pada pagi hari tanggal 10 Zulhijah. Umat Islam berkumpul di masjid atau tanah lapang untuk menunaikan salat berjamaah, mengenakan pakaian terbaik mereka sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan.
Salat Idul Adha terdiri dari dua rakaat dengan tujuh takbir tambahan di rakaat pertama dan lima takbir tambahan di rakaat kedua. Setelah salat, imam menyampaikan khutbah yang berisi nasihat dan peringatan tentang makna pengorbanan serta nilai-nilai yang terkandung dalam kisah Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS.
Rangkaian kegiatan dalam perayaan Idul Adha meliputi:
Malam takbiran: Dimulai setelah Maghrib tanggal 9 Zulhijah hingga salat Id
Membaca takbir:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, La ilaha illallah wallahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd.”
Dianjurkan untuk memperbanyak takbir di rumah, masjid, dan jalan-jalan
Persiapan di pagi hari:
- Mandi dan bersuci
- Mengenakan pakaian terbaik
- Memakai wewangian
- Tidak makan sebelum salat (dianjurkan)
- Berangkat ke tempat salat dengan berjalan kaki (dianjurkan)
Salat Idul Adha:
- Dilakukan setelah matahari terbit setinggi tombak
- Terdiri dari dua rakaat
- Rakaat pertama: 7 takbir tambahan setelah takbiratul ihram
- Rakaat kedua: 5 takbir tambahan setelah takbir perpindahan
Setelah salat dan khutbah, ritual utama Idul Adha adalah penyembelihan hewan kurban yang dapat dilaksanakan mulai setelah salat Id hingga terbenamnya matahari pada hari ketiga Tasyrik (13 Zulhijah).
Hewan yang dapat dijadikan kurban terbatas pada hewan ternak seperti kambing, domba, sapi, kerbau, dan unta, dengan kriteria khusus dari segi umur dan kondisi fisik. Kambing atau domba cukup untuk satu orang, sementara sapi atau kerbau dapat dikurbankan untuk tujuh orang. Penyembelihan harus dilakukan dengan cara yang baik dan sesuai syariat, mengucapkan nama Allah serta memastikan hewan tidak menderita secara berlebihan.
Doa yang dibaca saat menyembelih hewan kurban adalah:
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّي
“Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma inna hadza minka wa laka, Allahumma taqabbal minni.”
Artinya: “Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar. Ya Allah, sesungguhnya ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ya Allah, terimalah kurbanku ini.”
Daging hewan kurban kemudian dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk keluarga yang berkurban, sepertiga untuk kerabat dan tetangga, dan sepertiga lainnya untuk fakir miskin. Pembagian ini mencerminkan nilai berbagi dan kepedulian sosial yang menjadi bagian integral dari perayaan Idul Adha.
Dalam praktiknya, banyak lembaga sosial dan masjid yang menyelenggarakan penyembelihan hewan kurban secara kolektif dan mendistribusikan dagingnya kepada masyarakat yang membutuhkan. Beberapa komunitas bahkan mengirimkan daging kurban ke daerah-daerah terpencil atau wilayah bencana untuk memastikan bahwa kebahagiaan Idul Adha dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Ketentuan dan Syarat Hewan Kurban
Tidak semua hewan dapat dijadikan sebagai kurban pada perayaan Idul Adha. Syariat Islam telah menetapkan jenis-jenis hewan yang sah untuk dikurbankan, yaitu hewan ternak yang meliputi kambing, domba, sapi, kerbau, dan unta.
Ketentuan ini didasarkan pada praktik Nabi Muhammad SAW dan telah menjadi konsensus di kalangan ulama. Pemilihan hewan-hewan ini bukan tanpa alasan, karena selain memiliki nilai ekonomis yang signifikan, hewan-hewan tersebut juga memberikan manfaat gizi yang tinggi bagi penerimanya.
Berikut adalah kriteria penting yang harus dipenuhi oleh hewan kurban:
Jenis hewan: Harus berupa hewan ternak (an’am) yaitu:
- Unta (minimal untuk 7 orang)
- Sapi atau kerbau (minimal untuk 7 orang)
- Kambing atau domba (untuk 1 orang)
Kriteria umur:
- Unta: minimal 5 tahun
- Sapi dan kerbau: minimal 2 tahun
- Kambing: minimal 2 tahun
- Domba: minimal 1 tahun atau giginya telah lepas sesudah umur 6 bulan
Kondisi fisik: Harus bebas dari cacat berikut:
- Buta sebelah atau kedua matanya
- Pincang yang jelas terlihat
- Sakit yang tampak jelas
- Kurus kering hingga tidak ada sumsum dalam tulangnya
- Telinga yang terpotong sebagian atau seluruhnya
Ketentuan umur ini penting untuk memastikan bahwa hewan tersebut telah mencapai kematangan fisik yang cukup, sehingga dagingnya berkualitas baik dan memberikan manfaat maksimal bagi penerimanya.
Hewan kurban yang belum mencapai umur yang ditentukan dianggap tidak sah sebagai kurban, meskipun hewan yang melebihi ketentuan umur masih diperbolehkan selama tidak terlalu tua hingga dagingnya kehilangan kualitas dan nutrisinya.
Rasulullah SAW melarang berkurban dengan hewan yang cacat sebagaimana diriwayatkan dalam hadits:
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَشْرِفَ الْعَيْنَ وَالْأُذُنَ، وَأَنْ لَا نُضَحِّيَ بِعَوْرَاءَ، وَلَا مُقَابَلَةٍ، وَلَا مُدَابَرَةٍ، وَلَا خَرْقَاءَ، وَلَا شَرْقَاءَ
Dari Ali RA berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk memeriksa mata dan telinga (hewan kurban), dan beliau melarang kami berkurban dengan hewan yang buta sebelah, atau hewan yang terpotong bagian depan telinganya, atau terpotong bagian belakang telinganya, atau yang telinganya berlubang, atau yang telinganya terbelah.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i)
Proses pemilihan hewan kurban sendiri merupakan bagian penting dari ibadah ini. Disarankan bagi yang berkurban untuk memilih dan memeriksa sendiri hewan yang akan dikurbankan, memastikan bahwa hewan tersebut memenuhi semua kriteria yang ditetapkan.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk memilih hewan kurban yang terbaik, gemuk, dan bagus penampilannya sebagai bentuk penghargaan terhadap ibadah dan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat. Dalam konteks modern, di mana banyak orang mempercayakan pembelian hewan kurban kepada lembaga atau panitia, tetap penting untuk memastikan bahwa lembaga tersebut memahami dan mematuhi semua ketentuan syariat tentang kriteria hewan kurban.
lp6nws.


